INTIinspira - “Saat
berbicara, aku merasa mudah untuk menceritakan sesuatu. Apa yang terjadi
kemarin, atau pengalaman kurang menyenangkan yang kualami pagi tadi, semuanya
bisa kusampaikan dengan lancar. Tapi entah kenapa, saat ingin menuangkannya ke
dalam tulisan, aku justru kesulitan merangkai kata”.
Begitulah ungkapan beberapa teman padaku. Rupanya,
bukan hanya mereka yang mengalami hal ini, sejumlah siswa, mahasiswa, guru,
bahkan teman-teman satu tongkrongan juga mengungkapkan pengalaman yang sama.
Hal ini
membuatku merenung, sebenarnya di mana letak masalahnya? Mengapa berbicara
terasa ringan, tetapi menulis begitu sulit, padahal inti yang ingin disampaikan
tidak jauh berbeda?
Beberapa pengalaman
serupa ini membuatku merenungkan dua hal:
Pertama, berbicara biasanya bersifat spontan,
tanpa tekanan untuk terlihat rapi dan sistematis. Sebaliknya, ketika menulis,
banyak orang merasa harus memilih kata-kata yang tepat, memperhatikan ejaan,
menyusun kalimat yang runtut, dan memikirkan bagaimana tulisan tersebut akan
dipersepsikan orang lain. Semua ini bisa memunculkan tekanan tersendiri.
Kedua, banyak dari kita memang sejak awal kurang
terbiasa mengekspresikan pikiran dalam bentuk tulisan. Ambil contoh saat di
sekolah, sering kali siswa hanya menyalin materi dari buku teks pelajaran ke
buku catatan. Soal-soal yang mereka hadapi pun umumnya berbentuk pilihan ganda.
Jika pun ada soal esai, jawaban yang mereka tulis sering kali merupakan hasil
hafalan dari buku, bukan merupakan hasil pemahaman mereka sendiri terhadap
materi tersebut.
Padahal,
keterampilan menulis sejatinya seperti keterampilan lain—perlu dilatih secara
perlahan, dan dibiasakan tanpa rasa takut salah. Namun, dalam praktiknya,
perhatian lebih sering diberikan pada hasil akhir yang dianggap “benar”,
ketimbang proses berpikir dan keberanian menyampaikan gagasan lewat tulisan.
Merenungi kedua
persoalan ini, menurutku penting sekali untuk kembali mendekatkan proses
menulis dengan kegiatan bercerita. Kita bisa mendorong siswa atau mahasiswa
untuk menulis sambil membayangkan bahwa mereka sedang menceritakan sesuatu
kepada orang lain. Tidak perlu langsung terbebani dengan struktur atau aturan
bahasa yang baku. Bukan berarti hal-hal tersebut tidak penting, tetapi untuk
tahap awal, biarkan mereka menulis secara bebas terlebih dahulu. Setelah itu,
barulah diperkenalkan proses revisi dan penyempurnaan sesuai kaidah bahasa yang
berlaku.
Boleh jadi,
persoalan utama dalam hal ini tidak terletak pada lemahnya kemampuan menulis,
tetapi karena belum terbiasa menganggap menulis sebagai perpanjangan tangan
dari berbicara atau bercerita. Jika saat berbicara kita bisa mengalir jujur dan
apa adanya, sesungguhnya menulis pun bisa dilakukan dengan cara yang sama.
Beberapa
Contoh Praktis
Pernah suatu
ketika, aku meminta seorang siswa untuk menceritakan pengalaman saat liburan
sekolahnya. Ceritanya panjang lebar. Kemudian, aku minta padanya untuk menuliskan
itu semua di buku catatan. Hasilnya, luar biasa, dia hanya mampu menulis dua
kalimat saja. Ini menjadi bukti bahwa dia
memiliki gagasan, hanya saja belum terbiasa mengalihkannya ke bentuk tulisan.
Belajar dari
pengalaman ini, penting kiranya membiasakan untuk menuangkan gagasannya dalam
bentuk tulisan. Salah satu cara sederhana misalnya ialah dengan meminta siswa meluangkan
waktu lima menit setiap hari untuk menulis apa saja yang sedang dipikirkan atau
dirasakan. Tak perlu memikirkan ejaan, struktur kalimat, atau topik tertentu.
Yang penting adalah menulis. Kegiatan ini akan membantu melatih kelancaran
berpikir sekaligus membangun keberanian menulis tanpa rasa takut salah.
Contohnya bisa
begini: "Aku tadi telat bangun. Padahal tadi malam sudah pasang alarm.
Tapi aku tetap tidur lagi. Sepertinya karena hujan dan suasananya bikin malas
bangun."
Selain itu, bisa
juga dengan mengambil cerita yang biasa dibicarakan saat ngobrol, lalu coba menyampaikan
ulang dalam bentuk tulisan. Semisal, saat menulis bayangkanlah kamu sedang
menceritakan itu kepada temanmu. Contohnya begini "Kemarin aku naik
motor kehujanan. Payung nggak bawa, jas hujan juga nggak ada. Tapi lucunya,
justru aku jadi ketawa sendiri di jalan." Cara ini dapat melatih
keterampilan menyusun cerita dari pengalaman sehari-hari.
Kita juga bisa
belajar dari sosok seperti Pak Awan, seorang guru yang menunjukkan beberapa
karya tulisnya yang dimuat di kolom opini media massa lokal. Sambil menunjukkan
karyanya, ia memberi motivasi yang sangat menarik kepada siswa. "Kalau
kalian berhasil menulis untuk media massa, langsung saya beri nilai
sepuluh!" begitulah janji beliau. Siswa mana yang tidak tergoda? Cukup
satu artikel dimuat, tak perlu lagi ujian yang melelahkan, dan langsung
mendapat nilai sempurna.
Untuk mendukung
kebiasaan menulis ini, kita juga bisa meneladani langkah-langkah sederhana
seperti yang dilakukan oleh Retno Kurniawati, ia membiasakan siswanya menulis buku
harian pribadi, sebagai media ekspresi dan latihan menulis tanpa tekanan.
Pendekatan semacam ini bisa menjadi inspirasi yang mudah diterapkan di kelas,
bahkan oleh para pemula dalam dunia tulis-menulis.
Penutup
Sebagai guru,
pegiat literasi, atau siapa pun yang peduli dengan tumbuhnya budaya literasi,
kita bisa mulai dari hal paling dasar, yaitu menciptakan ruang aman. Ruang di
mana siapa pun merasa bebas menulis tanpa takut disalahkan atau dihakimi. Dalam
teknisnya, cukup menyediakan waktu lima
menit menulis bebas setiap hari, menulis di buku harian, atau sekadar mencatat
pengalaman harian tanpa terbebani dengan aturan bahasa, semua itu bisa jadi
langkah kecil yang berdampak besar.
Yang paling
penting dalam hal ini adalah membiasakan diri mengungkapkan ide lewat tulisan.
Bukan semata-mata mengejar hasil akhir yang sempurna, tapi menikmati prosesnya.
Kita juga bisa ikut memperkuat budaya menulis ini dengan memberikan contoh
nyata. Menulis bukan hanya
soal tugas sekolah, tapi juga merupakan salah satu bentuk ekspresi yang
memiliki daya tahan lama, sebab tulisan tidak akan pernah hilang, meski si
penulis telah tiada. Kalau menulis sudah jadi kebiasaan, maka lama-lama ia tak
lagi terasa berat. Ia akan mengalir begitu saja—seperti kita bercerita, merasa,
dan berpikir. Spontan, mengalir apa adanya.[]
Penulis: Arizul
Suwar
Ilustrasi: Ilustrasi Mengapa menulis terasa sulit padahal kita lancar bercerita/dibuat dengan AI