Mengapa Menulis Terasa Sulit Padahal Kita Lancar Bercerita?

Ilustrasi digital bergaya flat dengan nuansa warna hangat menunjukkan seorang pria muda mengenakan kaus oranye yang tampak frustrasi saat menulis. Di depannya ada kertas dengan coretan dan bola kertas bekas di meja. Di sebelah kepalanya terdapat balon pikiran yang menggambarkan dirinya sedang berbicara dengan seorang wanita, keduanya tersenyum. Teks besar di atas gambar berbunyi: "Mengapa Menulis Terasa Sulit Padahal Kita Lancar Bercerita?" Gambar ini merepresentasikan perbedaan antara kemudahan bercerita secara lisan dan kesulitan menuliskannya.
INTIinspira“Saat berbicara, aku merasa mudah untuk menceritakan sesuatu. Apa yang terjadi kemarin, atau pengalaman kurang menyenangkan yang kualami pagi tadi, semuanya bisa kusampaikan dengan lancar. Tapi entah kenapa, saat ingin menuangkannya ke dalam tulisan, aku justru kesulitan merangkai kata”

Begitulah ungkapan beberapa teman padaku. Rupanya, bukan hanya mereka yang mengalami hal ini, sejumlah siswa, mahasiswa, guru, bahkan teman-teman satu tongkrongan juga mengungkapkan pengalaman yang sama.
 
Hal ini membuatku merenung, sebenarnya di mana letak masalahnya? Mengapa berbicara terasa ringan, tetapi menulis begitu sulit, padahal inti yang ingin disampaikan tidak jauh berbeda?
 
Beberapa pengalaman serupa ini membuatku merenungkan dua hal:
 
Pertama, berbicara biasanya bersifat spontan, tanpa tekanan untuk terlihat rapi dan sistematis. Sebaliknya, ketika menulis, banyak orang merasa harus memilih kata-kata yang tepat, memperhatikan ejaan, menyusun kalimat yang runtut, dan memikirkan bagaimana tulisan tersebut akan dipersepsikan orang lain. Semua ini bisa memunculkan tekanan tersendiri.
 
Kedua, banyak dari kita memang sejak awal kurang terbiasa mengekspresikan pikiran dalam bentuk tulisan. Ambil contoh saat di sekolah, sering kali siswa hanya menyalin materi dari buku teks pelajaran ke buku catatan. Soal-soal yang mereka hadapi pun umumnya berbentuk pilihan ganda. Jika pun ada soal esai, jawaban yang mereka tulis sering kali merupakan hasil hafalan dari buku, bukan merupakan hasil pemahaman mereka sendiri terhadap materi tersebut.
 
Padahal, keterampilan menulis sejatinya seperti keterampilan lain—perlu dilatih secara perlahan, dan dibiasakan tanpa rasa takut salah. Namun, dalam praktiknya, perhatian lebih sering diberikan pada hasil akhir yang dianggap “benar”, ketimbang proses berpikir dan keberanian menyampaikan gagasan lewat tulisan.
 
Merenungi kedua persoalan ini, menurutku penting sekali untuk kembali mendekatkan proses menulis dengan kegiatan bercerita. Kita bisa mendorong siswa atau mahasiswa untuk menulis sambil membayangkan bahwa mereka sedang menceritakan sesuatu kepada orang lain. Tidak perlu langsung terbebani dengan struktur atau aturan bahasa yang baku. Bukan berarti hal-hal tersebut tidak penting, tetapi untuk tahap awal, biarkan mereka menulis secara bebas terlebih dahulu. Setelah itu, barulah diperkenalkan proses revisi dan penyempurnaan sesuai kaidah bahasa yang berlaku.
 
Boleh jadi, persoalan utama dalam hal ini tidak terletak pada lemahnya kemampuan menulis, tetapi karena belum terbiasa menganggap menulis sebagai perpanjangan tangan dari berbicara atau bercerita. Jika saat berbicara kita bisa mengalir jujur dan apa adanya, sesungguhnya menulis pun bisa dilakukan dengan cara yang sama.
 
Beberapa Contoh Praktis
 
Pernah suatu ketika, aku meminta seorang siswa untuk menceritakan pengalaman saat liburan sekolahnya. Ceritanya panjang lebar. Kemudian, aku minta padanya untuk menuliskan itu semua di buku catatan. Hasilnya, luar biasa, dia hanya mampu menulis dua kalimat saja.  Ini menjadi bukti bahwa dia memiliki gagasan, hanya saja belum terbiasa mengalihkannya ke bentuk tulisan.
 
Belajar dari pengalaman ini, penting kiranya membiasakan untuk menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Salah satu cara sederhana misalnya ialah dengan meminta siswa meluangkan waktu lima menit setiap hari untuk menulis apa saja yang sedang dipikirkan atau dirasakan. Tak perlu memikirkan ejaan, struktur kalimat, atau topik tertentu. Yang penting adalah menulis. Kegiatan ini akan membantu melatih kelancaran berpikir sekaligus membangun keberanian menulis tanpa rasa takut salah.
 
Contohnya bisa begini: "Aku tadi telat bangun. Padahal tadi malam sudah pasang alarm. Tapi aku tetap tidur lagi. Sepertinya karena hujan dan suasananya bikin malas bangun."
 
Selain itu, bisa juga dengan mengambil cerita yang biasa dibicarakan saat ngobrol, lalu coba menyampaikan ulang dalam bentuk tulisan. Semisal, saat menulis bayangkanlah kamu sedang menceritakan itu kepada temanmu. Contohnya begini "Kemarin aku naik motor kehujanan. Payung nggak bawa, jas hujan juga nggak ada. Tapi lucunya, justru aku jadi ketawa sendiri di jalan." Cara ini dapat melatih keterampilan menyusun cerita dari pengalaman sehari-hari.
 
Kita juga bisa belajar dari sosok seperti Pak Awan, seorang guru yang menunjukkan beberapa karya tulisnya yang dimuat di kolom opini media massa lokal. Sambil menunjukkan karyanya, ia memberi motivasi yang sangat menarik kepada siswa. "Kalau kalian berhasil menulis untuk media massa, langsung saya beri nilai sepuluh!" begitulah janji beliau. Siswa mana yang tidak tergoda? Cukup satu artikel dimuat, tak perlu lagi ujian yang melelahkan, dan langsung mendapat nilai sempurna.
 
Untuk mendukung kebiasaan menulis ini, kita juga bisa meneladani langkah-langkah sederhana seperti yang dilakukan oleh Retno Kurniawati, ia membiasakan siswanya menulis buku harian pribadi, sebagai media ekspresi dan latihan menulis tanpa tekanan. Pendekatan semacam ini bisa menjadi inspirasi yang mudah diterapkan di kelas, bahkan oleh para pemula dalam dunia tulis-menulis.
 
Penutup
 
Sebagai guru, pegiat literasi, atau siapa pun yang peduli dengan tumbuhnya budaya literasi, kita bisa mulai dari hal paling dasar, yaitu menciptakan ruang aman. Ruang di mana siapa pun merasa bebas menulis tanpa takut disalahkan atau dihakimi. Dalam teknisnya, cukup menyediakan waktu  lima menit menulis bebas setiap hari, menulis di buku harian, atau sekadar mencatat pengalaman harian tanpa terbebani dengan aturan bahasa, semua itu bisa jadi langkah kecil yang berdampak besar.
 
Yang paling penting dalam hal ini adalah membiasakan diri mengungkapkan ide lewat tulisan. Bukan semata-mata mengejar hasil akhir yang sempurna, tapi menikmati prosesnya. Kita juga bisa ikut memperkuat budaya menulis ini dengan memberikan contoh nyata. Menulis bukan hanya soal tugas sekolah, tapi juga merupakan salah satu bentuk ekspresi yang memiliki daya tahan lama, sebab tulisan tidak akan pernah hilang, meski si penulis telah tiada. Kalau menulis sudah jadi kebiasaan, maka lama-lama ia tak lagi terasa berat. Ia akan mengalir begitu saja—seperti kita bercerita, merasa, dan berpikir. Spontan, mengalir apa adanya.[]
 
Penulis: Arizul Suwar
Ilustrasi: Ilustrasi 
Mengapa menulis terasa sulit padahal kita lancar bercerita/dibuat dengan AI
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan