ASEAN–Tiongkok–GCC: Menyulam Kembali Jalur Sutra Abad ke-21

INTIinspira - Pertemuan puncak trilateral pertama antara ASEAN, Tiongkok, dan Gulf Cooperation Council (GCC) yang berlangsung awal pekan ini di Kuala Lumpur merupakan sebuah tonggak penting dalam peta baru kerja sama global. Bukan hanya karena menyatukan 17 negara dari tiga kawasan strategis — Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Barat — tetapi juga karena membawa semangat baru: kerja sama lintas kawasan berbasis sejarah, perdagangan, dan peradaban yang saling terhubung.

Perdana Menteri Malaysia merangkap Ketua ASEAN saat ini, Anwar Ibrahim, dengan gamblang menggambarkan latar kultural forum tersebut: “Dari Jalur Sutra kuno hingga jaringan maritim Asia Tenggara, rakyat kita telah lama terhubung melalui perdagangan, budaya, dan pertukaran gagasan.” Kini, hubungan historis itu menemukan momentum baru di abad ke-21, ditopang oleh inisiatif-inisiatif konektivitas seperti Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas Tiongkok.

Segitiga Strategis Baru Asia

Kerja sama ASEAN–Tiongkok–GCC menyatukan tiga kekuatan utama: sumber daya energi dan modal dari Asia Barat, kapasitas industri dan teknologi dari Asia Timur, serta posisi geografis strategis dan pasar konsumen dari Asia Tenggara. Kombinasi ini membentuk sebuah segitiga strategis baru yang bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia dalam dua dekade ke depan.

Lebih dari sekadar proyek infrastruktur, BRI menjadi tulang punggung dari integrasi ini — membangun jaringan pelabuhan, kereta cepat, kawasan industri, dan koridor ekonomi yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan di Teluk Persia dengan Semenanjung Malaka hingga pesisir timur Tiongkok. Konektivitas ini adalah bentuk baru dari Jalur Sutra Maritim yang dulu menjadi nadi perdagangan dunia.

Dari De-dolarisasi hingga Diplomasi Baru

Data perdagangan menunjukkan arah perubahan itu semakin jelas. Tahun lalu, nilai perdagangan ASEAN dengan Tiongkok dan GCC melampaui 900 miliar dolar AS — hampir dua kali lipat nilai perdagangan ASEAN dengan Amerika Serikat. Ini menandakan pergeseran strategis dari ketergantungan pada Barat menuju kerja sama intra-Asia yang semakin erat.

Langkah konkret juga telah diambil. Tiongkok dan Indonesia, misalnya, sepakat menggunakan yuan dan rupiah dalam perdagangan bilateral mereka. Deklarasi bersama KTT juga mendorong penggunaan mata uang lokal dan sistem pembayaran lintas batas. Ini menandai era baru de-dolarisasi di kawasan, di mana transaksi tidak lagi bergantung pada sistem finansial global yang didominasi satu kekuatan saja.

Berbeda dengan kecenderungan proteksionisme global, forum ini justru mempertegas komitmen terhadap perdagangan bebas, penguatan rantai pasok, dan konektivitas digital yang berkelanjutan. Dalam konteks geopolitik yang semakin terfragmentasi, pendekatan ini memberi alternatif yang lebih manusiawi dan berkelanjutan daripada sanksi sepihak dan ancaman kekuatan militer.

Menghidupkan Kembali Semangat Bandung

Kehadiran KTT ini di Kuala Lumpur memiliki makna simbolik yang dalam. Malaka, sebagai simpul penting Jalur Sutra masa lalu, menjadi tuan rumah kebangkitan baru kerja sama peradaban. Kita seperti diingatkan kembali pada semangat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, ketika negara-negara Asia dan Afrika untuk pertama kalinya menyuarakan aspirasinya secara mandiri di panggung dunia.

Presiden Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, dalam pertemuan tersebut memuji sikap anti-imperialis Tiongkok sejak 1949. Sebuah gestur politik yang menghidupkan kembali memori kolektif tentang kedekatan historis antara Asia Tenggara dan Tiongkok dalam perjuangan melawan kolonialisme. Ini bukan nostalgia kosong, tetapi penanda bahwa narasi sejarah bisa menjadi energi untuk menata masa depan yang lebih berkeadilan.

Laboratorium Dunia Selatan

KTT ini juga membuka peluang bagi Asia — khususnya negara-negara BRICS dan mitra strategisnya — untuk mengeksplorasi model pembangunan yang lebih adil. Profesor Michael Hudson, ekonom terkemuka asal Amerika Serikat, menekankan bahwa agar negara-negara berkembang bisa lepas dari jebakan ekonomi rente dan ketergantungan utang, mereka perlu meniru model Tiongkok yang menjadikan penciptaan uang sebagai alat publik untuk pembangunan infrastruktur dan sektor produktif.

Dalam konteks ini, forum ASEAN–Tiongkok–GCC bisa menjadi laboratorium dari kerja sama Selatan-Selatan yang tidak hanya berbasis wacana, tetapi terimplementasi dalam investasi nyata, kebijakan fiskal progresif, dan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, bukan elite semata.

Penutup

Kita hidup di masa peralihan. Dunia sedang mengalami restrukturisasi kekuasaan, ekonomi, dan teknologi. Di tengah pusaran ketidakpastian ini, kerja sama ASEAN–Tiongkok–GCC memberi harapan: bahwa kerja sama bisa dibangun tanpa dominasi; bahwa diplomasi bisa menjadi jalan utama, bukan senjata; bahwa perdagangan bisa saling menguntungkan, bukan merugikan salah satu pihak.

Dan yang paling penting, bahwa Asia — dengan segala keragaman budayanya — kini berdiri di panggung dunia dengan suara yang semakin tegas dan merdeka.


Penulis: Muhammad Amin, SH (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Gambar: Telegram source
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan