Seni Menjaga Kewarasan di Tengah Ketidakpastian Hidup: Belajar dari Stoa

"Masalah besar dalam hidup sering muncul ketika manusia ingin mengendalikan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa ia kendalikan."

Memahami Inti Filsafat Stoa

INTIinspira - Filsafat Stoa lahir pada masa Yunani Kuno, tapi masih terasa relevan sampai detik ini. Inti dari filsafat ini sederhana: manusia tidak bisa mengendalikan semua hal dalam hidup, tetapi selalu bisa mengendalikan cara berpikir dan bersikap.

Menurut filsafat Stoa, hidup manusia dipenuhi oleh dua jenis hal.

Pertama, hal-hal yang berada dalam kendali, seperti pikiran, sikap, nilai, dan keputusan yang kita ambil.

Kedua, hal-hal yang berada di luar kendali, seperti cuaca, nasib, penyakit, kehilangan, perilaku orang lain, dan hasil akhir dari usaha kita.

Masalah besar dalam hidup sering muncul ketika manusia ingin mengendalikan hal-hal yang sebenarnya tidak bisa ia kendalikan.

Stoa mengajarkan bahwa ketenangan hidup akan tercapai jika seseorang fokus pada hal yang dapat dia kendalikan dan belajar menerima hal kedua dengan lapang.

Stoa juga menekankan pentingnya hidup sesuai dengan akal sehat dan kebajikan.

Akal digunakan untuk berpikir jernih, tidak terburu-buru dalam menilai suatu peristiwa, dan tidak dikuasai emosi sesaat.

Kebajikan, seperti kejujuran, keadilan, keberanian, dan pengendalian diri, dipandang sebagai tujuan utama hidup.

Menjadi manusia yang baik jauh lebih penting daripada menjadi manusia yang kaya, terkenal, atau berkuasa, begitulah pandangan Stoa.

Harta, jabatan, dan pujian dianggap sebagai hal tambahan yang bisa datang dan pergi, sehingga tidak layak dijadikan sumber kebahagiaan utama.

Tujuan akhir dari filsafat Stoa adalah ketenangan batin—bukan berarti hidup tanpa masalah atau tanpa emosi—tetapi kemampuan untuk tetap stabil di tengah perubahan hidup.

Orang Stoa tidak menolak emosi, tetapi berusaha memahami dan mengelolanya.

Marah, takut, dan sedih dianggap wajar, namun tidak boleh menguasai pikiran dan tindakan.

Dengan berpikir rasional semacam itu dan menerima kenyataan apa adanya, seseorang dapat menjalani hidup dengan lebih tenang, kuat, dan tidak mudah goyah.

Dengan demikian, filsafat Stoa bukan ajaran untuk menjauh dari dunia, melainkan cara untuk hidup di dalam dunia dengan sikap yang lebih bijak.

Stoa mengajarkan manusia untuk berdamai dengan kenyataan, tanpa menyerah, dan tetap berpegang pada nilai moral dalam situasi apa pun.

Relevansi Filsafat Stoa dalam Kehidupan Sehari-hari

Ajaran Stoa sangat relevan ketika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di masa penuh tekanan dan ketidakpastian.

Salah satu contoh paling sederhana adalah saat menghadapi kegagalan.

Banyak orang merasa hancur ketika rencana hidup tidak berjalan sesuai harapan: gagal masuk pekerjaan impian, usaha tidak berkembang, atau target hidup meleset.

Dalam kacamata Stoa, kegagalan bukan sepenuhnya cerminan diri kita. Yang terpenting adalah apakah kita sudah berusaha dengan sungguh-sungguh dan jujur.

Jika sudah, maka hasil akhirnya bukan lagi beban yang harus disesali, melainkan pelajaran yang perlu diterima.

Contoh lain dapat dilihat dalam kehidupan digital dan media sosial.

Di zaman sekarang, manusia hidup dalam arus komentar, penilaian, dan perbandingan yang tidak ada habisnya.

Banyak orang merasa cemas, rendah diri, atau marah karena pendapat orang lain. Filsafat Stoa menawarkan kesadaran bahwa pendapat orang lain berada di luar kendali kita.

Kita tidak bisa memaksa semua orang menyukai atau memahami kita. Yang bisa kita kendalikan hanyalah tindakan dan niat kita sendiri.

Cara berpikir ini akan membuat seseorang tidak mudah terseret emosi dan lebih mampu menjaga kesehatan mentalnya.

Dalam kehidupan kerja dan sosial, ajaran Stoa juga sangat berguna untuk mengelola emosi.

Misalnya, saat menghadapi atasan yang keras, rekan kerja yang sulit, atau situasi yang tidak adil.

Reaksi spontan seperti marah atau dendam sering kali justru memperburuk keadaan.

Stoa mengajarkan untuk berhenti sejenak, berpikir jernih, dan merespons secara rasional. Bukan berarti kita harus pasrah atau diam, tetapi bertindak dengan kepala dingin dan tetap menjaga sikap yang bermartabat.

Stoa juga relevan dalam menghadapi tekanan hidup modern yang serba cepat dan kompetitif.

Banyak orang merasa hidupnya tidak cukup karena terus membandingkan diri dengan orang lain.

Dalam budaya konsumtif, kebahagiaan sering dikaitkan dengan barang, status, dan gaya hidup.

Filsafat Stoa mengingatkan bahwa ketenangan tidak datang dari memiliki lebih banyak, tetapi dari menginginkan lebih sedikit.

Dengan hidup sederhana, bersyukur, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting, hidup terasa lebih ringan dan bermakna.

Bahkan dalam menghadapi penderitaan, seperti sakit atau kehilangan, Stoa memberikan kerangka berpikir yang kuat.

Ia bukan mengajarkan menolak rasa sakit, tapi menerima kenyataan tanpa menambah penderitaan dengan pikiran negatif yang berlebihan. Karena hidup memang tidak selalu adil, seseorang bisa tetap menjaga martabat dan kekuatan batinnya.

Pada akhirnya, relevansi filsafat Stoa terletak pada kemampuannya membantu manusia modern hidup lebih tenang, rasional, dan berdaya.

Di tengah hidup yang terus berubah, penuh tekanan, Stoa mengingatkan bahwa kendali terbesar dalam hidup selalu berada di dalam diri sendiri.

Selama pikiran dan sikap kita terjaga, hidup tetap bisa dijalani dengan tegar dan bermakna, apa pun keadaan yang datang.[]

Penulis: Arizul Suwar (Alumnus Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).
Ilustrasi: Two Yellow Emoji on Yellow Case/Pexels.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan