Berpikir Positif: Motivasi atau Ilusi? Catatan atas The Secret
Seseorang ingin lulus ujian. Versi The Secret yang ekstrem akan berkata: “Bayangkan kamu lulus, rasakan kebahagiaannya, dan semesta akan mengaturnya.” Versi Stoik akan berkata: “Belajarlah sebaik mungkin, atur waktu, terima bahwa hasil akhir bisa gagal, dan tetap tenang apa pun hasilnya.”
The Secret dan Berpikir Positif
INTIinspira - Sekitar pertengahan-akhir tahun 2000-an, dunia sempat dihebohkan oleh sebuah buku berjudul The Secret. Buku ini sangat laris dan dibicarakan di mana-mana.Inti utama dari buku ini: pikiran kita bisa mengubah segalanya. Jika kita berpikir positif, maka hal-hal baik akan datang.
Jika kita memikirkan kesuksesan, kekayaan, dan kebahagiaan, maka semesta akan “menariknya” ke dalam hidup kita.
Sebagian orang sangat menyenangi pernyataan itu. Rasanya, hidup yang rumit kini telah punya jalan pintas. Tidak perlu terlalu cemas, cukup berpikir baik, dan dunia akan ikut membaik.
Dalam kondisi tertentu, gagasan ini memang punya sisi positif.
Sebagian orang sangat menyenangi pernyataan itu. Rasanya, hidup yang rumit kini telah punya jalan pintas. Tidak perlu terlalu cemas, cukup berpikir baik, dan dunia akan ikut membaik.
Dalam kondisi tertentu, gagasan ini memang punya sisi positif.
Misalnya, orang yang terlalu pesimis bisa terdorong untuk melihat hidup dengan lebih terbuka. Orang yang sering merendahkan diri sendiri bisa belajar untuk lebih percaya diri.
Contoh sederhananya begini. Seorang siswa yang terus berpikir, “Aku bodoh, aku pasti gagal,” biasanya akan malas belajar dan mudah menyerah.
Ketika ia mulai mengubah pikirannya menjadi, “Aku mungkin belum pintar, tapi aku bisa belajar,” semangatnya bisa tumbuh. Dalam kasus ini, pikiran memang berpengaruh. Pikiran memengaruhi sikap, dan sikap memengaruhi tindakan.
Masalahnya muncul ketika The Secret melangkah terlalu jauh.
Buku ini tidak berhenti pada peran pikiran sebagai pendorong tindakan, tetapi mengklaim bahwa pikiran itu sendiri sudah cukup.
Contoh sederhananya begini. Seorang siswa yang terus berpikir, “Aku bodoh, aku pasti gagal,” biasanya akan malas belajar dan mudah menyerah.
Ketika ia mulai mengubah pikirannya menjadi, “Aku mungkin belum pintar, tapi aku bisa belajar,” semangatnya bisa tumbuh. Dalam kasus ini, pikiran memang berpengaruh. Pikiran memengaruhi sikap, dan sikap memengaruhi tindakan.
Masalahnya muncul ketika The Secret melangkah terlalu jauh.
Buku ini tidak berhenti pada peran pikiran sebagai pendorong tindakan, tetapi mengklaim bahwa pikiran itu sendiri sudah cukup.
Seolah-olah, tanpa usaha nyata, tanpa disiplin, tanpa kerja keras, keinginan bisa terwujud hanya karena kita memikirkannya dengan cukup kuat.
Di sinilah batas antara harapan dan ilusi menjadi kabur.
Membayangkan diri menjadi kaya, sehat, atau sukses memang terasa menyenangkan. Namun, jika berhenti di situ saja, maka itu tidak lagi menjadi motivasi, melainkan khayalan.
Lebih berbahaya lagi, khayalan semacam ini bisa membuat seseorang merasa sudah “melakukan sesuatu”, padahal belum melakukan apa pun di dunia nyata.
Banyak orang akhirnya terjebak pada logika semacam ini: “Kalau belum berhasil, berarti pikiranku kurang positif.” Akibatnya, kegagalan bukan dipelajari, melainkan disalahkan pada pikiran sendiri.
Alih-alih bangkit dan memperbaiki cara, seseorang justru merasa bersalah dan lelah secara mental.
Pikiran, sikap, dan tindakan ada dalam kendali. Hasil akhir, penilaian orang lain, keberuntungan, dan kondisi dunia, tidak ada dalam kendali.
Bagi Stoik, masalah hidup sering muncul bukan karena kurang berpikir positif, tetapi karena kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Kita ingin hasil tertentu, lalu menderita ketika hasil itu tidak datang, padahal usaha sudah dilakukan.
Dalam pandangan ini, berpikir tentang menjadi kaya bukan masalah. Yang bermasalah adalah menggantungkan ketenangan batin pada hasil yang belum tentu terjadi.
Stoik tidak mengajarkan pesimisme, tetapi realisme.
Di sinilah batas antara harapan dan ilusi menjadi kabur.
Membayangkan diri menjadi kaya, sehat, atau sukses memang terasa menyenangkan. Namun, jika berhenti di situ saja, maka itu tidak lagi menjadi motivasi, melainkan khayalan.
Lebih berbahaya lagi, khayalan semacam ini bisa membuat seseorang merasa sudah “melakukan sesuatu”, padahal belum melakukan apa pun di dunia nyata.
Banyak orang akhirnya terjebak pada logika semacam ini: “Kalau belum berhasil, berarti pikiranku kurang positif.” Akibatnya, kegagalan bukan dipelajari, melainkan disalahkan pada pikiran sendiri.
Alih-alih bangkit dan memperbaiki cara, seseorang justru merasa bersalah dan lelah secara mental.
Melihat The Secret dengan Kacamata yang Lebih Realistis
Berbeda dengan The Secret, filsafat Stoik sejak awal justru mengajak manusia untuk membedakan dua hal penting: apa yang berada dalam kendali kita, dan apa yang tidak.Pikiran, sikap, dan tindakan ada dalam kendali. Hasil akhir, penilaian orang lain, keberuntungan, dan kondisi dunia, tidak ada dalam kendali.
Bagi Stoik, masalah hidup sering muncul bukan karena kurang berpikir positif, tetapi karena kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Kita ingin hasil tertentu, lalu menderita ketika hasil itu tidak datang, padahal usaha sudah dilakukan.
Dalam pandangan ini, berpikir tentang menjadi kaya bukan masalah. Yang bermasalah adalah menggantungkan ketenangan batin pada hasil yang belum tentu terjadi.
Stoik tidak mengajarkan pesimisme, tetapi realisme.
Mereka mengajarkan untuk bertanya: apa yang bisa aku lakukan hari ini, sekarang, dengan kemampuanku?
Psikologi modern ternyata banyak sejalan dengan sikap Stoik ini.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa optimisme tanpa rencana justru meningkatkan risiko stres dan kekecewaan.
Orang yang terlalu fokus pada hasil positif cenderung meremehkan rintangan. Ketika rintangan itu benar-benar muncul, mental mereka tidak siap.
Sebaliknya, pendekatan yang disebut realistic optimism atau bahkan defensive realism justru lebih sehat.
Psikologi modern ternyata banyak sejalan dengan sikap Stoik ini.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa optimisme tanpa rencana justru meningkatkan risiko stres dan kekecewaan.
Orang yang terlalu fokus pada hasil positif cenderung meremehkan rintangan. Ketika rintangan itu benar-benar muncul, mental mereka tidak siap.
Sebaliknya, pendekatan yang disebut realistic optimism atau bahkan defensive realism justru lebih sehat.
Artinya, kita melihat kemungkinan baik, tetapi juga mengakui kesulitan. Kita berharap, sambil tetap menyiapkan diri untuk gagal dan belajar.
Contoh nyatanya begini. Seseorang ingin lulus ujian. Versi The Secret yang ekstrem akan berkata: “Bayangkan kamu lulus, rasakan kebahagiaannya, dan semesta akan mengaturnya.”
Contoh nyatanya begini. Seseorang ingin lulus ujian. Versi The Secret yang ekstrem akan berkata: “Bayangkan kamu lulus, rasakan kebahagiaannya, dan semesta akan mengaturnya.”
Versi Stoik akan berkata: “Belajarlah sebaik mungkin, atur waktu, terima bahwa hasil akhir bisa gagal, dan tetap tenang apa pun hasilnya.”
Penelitian juga menunjukkan bahwa terlalu memaksa diri untuk berpikir positif bisa menekan emosi negatif yang sebenarnya wajar.
Sedih, takut, dan kecewa bukan musuh yang harus dihapus dengan afirmasi. Emosi itu adalah sinyal. Jika terus diabaikan, tekanan batin justru menumpuk.
Di sinilah Stoik menjadi lebih lebih membumi. Ia tidak menyuruh kita tersenyum palsu di tengah kesulitan. Ia mengajak kita menerima realitas dengan jernih, lalu bertindak dengan tenang.
Berpikir positif bukanlah musuh. Namun, ketika ia diposisikan sebagai pengganti usaha, ia berubah menjadi jebakan.
The Secret menawarkan harapan instan, tetapi sering mengabaikan kenyataan bahwa hidup dibentuk oleh proses panjang, kegagalan, dan kerja nyata.
Stoisisme dan psikologi modern meneguhkan bahwa pikiran tidak menciptakan dunia, tetapi mengarahkan tindakan kita di dalam dunia.
Dengan fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali, kita tidak menjadi pasrah, tetapi justru lebih kuat. Kita berhenti menghayal berlebihan, dan mulai berjalan. Pelan, realistis, dan bertanggung jawab.[]
Penulis: Arizul Suwar (Alumnus Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).
Ilustrasi:https://www.flickr.com/photos/symphonick/3217807586
Penelitian juga menunjukkan bahwa terlalu memaksa diri untuk berpikir positif bisa menekan emosi negatif yang sebenarnya wajar.
Sedih, takut, dan kecewa bukan musuh yang harus dihapus dengan afirmasi. Emosi itu adalah sinyal. Jika terus diabaikan, tekanan batin justru menumpuk.
Di sinilah Stoik menjadi lebih lebih membumi. Ia tidak menyuruh kita tersenyum palsu di tengah kesulitan. Ia mengajak kita menerima realitas dengan jernih, lalu bertindak dengan tenang.
Berpikir positif bukanlah musuh. Namun, ketika ia diposisikan sebagai pengganti usaha, ia berubah menjadi jebakan.
The Secret menawarkan harapan instan, tetapi sering mengabaikan kenyataan bahwa hidup dibentuk oleh proses panjang, kegagalan, dan kerja nyata.
Stoisisme dan psikologi modern meneguhkan bahwa pikiran tidak menciptakan dunia, tetapi mengarahkan tindakan kita di dalam dunia.
Dengan fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali, kita tidak menjadi pasrah, tetapi justru lebih kuat. Kita berhenti menghayal berlebihan, dan mulai berjalan. Pelan, realistis, dan bertanggung jawab.[]
Penulis: Arizul Suwar (Alumnus Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).
Ilustrasi:https://www.flickr.com/photos/symphonick/3217807586


