Analogi Logis Transaksi Cinta
Oleh: Arizul Suwar*
Dalam sebuah artikel yang berjudul "Erich Fromm dan Konsep tentang Mencintai," Fadjar Nurcahyo mengutip pandangan Erich Fromm (selanjutnya disebut Fromm) dalam bukunya The Art of Loving,[1] yang menjelaskan; "sebagai individu, manusia menginginkan sesuatu yang menarik"[2].
Ukuran menarik atau tidak, sesuai dengan selera individu masing-masing. Fromm menjelaskan arti menarik terbatas pada pengertian model yang dicari dalam pasar- pasar kepribadian.
Pasar kepribadian yang dimaksud ialah selera kebanyakan orang tentang suatu kepribadian. Selera ini dipengaruhi oleh konteks kondisi dan situasi zaman saat itu. Misalnya kepribadian seorang laki-laki yang kalem dan seorang perempuan yang pemalu dan sering di rumah, lebih menarik pada masa dan masyarakat tertentu.
Dalam konteks masyarakat lain, bisa jadi,
kepribadian yang lebih disukai berkebalikan dengan yang disebutkan di atas.
Dengan begitu, jelaslah, secara umum bagi laki-laki saat ini model kepribadian seorang perempuan akan dianggap menarik jika sesuai dengan seleranya, sebaliknya juga demikian.
Nah, jika sudah sesuai dengan seleranya, barulah seseorang beranggapan, bahwa orang tersebut layak untuk dicintainya. Cara pandang semacam ini membawa implikasi bersaingnya orang-orang untuk menjadi objek yang layak hal dicintai.
Persaingan nilai tukar, berlomba-lomba untuk menyesuaikan diri dengan selera pasar. Fenomena inilah yang kemudian dijelaskan sebagai: "perasaan jatuh cinta biasanya akan timbul dan berkembang ketikatersedianya komoditas-komoditas yang ditawarkan.[3]
Tidak hanya sebatas hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan, bahkan
lebih jauh, fenomena nilai tukar ini juga menyebar dalam kehidupan sosial yang
lebih luas, seseorang "mendandani" dirinya sedemikian rupa dengan
harapan dapat ditukar dengan penerimaan, pujian dan cinta dari kelompok atau
komunitas sosial tertentu.
Hakikat Cinta menurut Fromm
Persis pada fenomena tersebut, Fromm melontarkan kritiknya. Fenomena mencintai sama dengan menjadikan orang tersebut sebagai objek yang menarik untuk dimiliki, tentunya sangat rapuh dan tidak akan bertahan lama.
Awalnya mempesona akhirnya menjadi sirna, mengikuti hukum alamiah kehidupan, yaitu senantiasa mengalami perubahan. Bagi Fromm, mencintai adalah kemampuan menerima dengan segenap kelebihan serta kekurangan yang dicintai dan kemampuan untuk memberi.
Wujud nyata menerima adalah memberi Kemampuan menerima mengantarkan seseorang untuk memahami orang lain. Dari memahami kemudian membawa seseorang untuk dapat memberi.
Fromm sadar betul bahwa mencintai bukanlah persoalan mudah. Jika cinta adalah menerima dan memberi, berarti tidak ada perkara menuntut di sana. Darimana kesadaran ini muncul?
Bagi Fromm, tersebut disadari dari kesadaran seseorang akan pendeknya jangka waktu kehidupan sebagai manusia dan fakta bahwa manusia terlahirkan dan mati di luar dari kemauan dan kehendaknya.[4] Jika kelahiran dan kematian berada di luar kehendak, masihkah menuntut itu relevan?
Kritik Fromm terhadap Cinta Palsu
Cinta bagi Fromm, adalah jalan keluar dari rasa keterasingan dalam
diri manusia.[5]
Dan itu tidak akan pernah didapati, jika cinta hanya dipahami sebagai rasa
kepemilikian terhadap objek yang sesuai dengan seleranya.
Relevansi kritik Fromm dengan Fenomena Manusia Modern
Kritik yang dilontarkan Fromm masih relevan hingga saat ini, kehadiran internet dan media sosial (Facebook, Instagram, TikTok, dll) ikut berkontribusi dan menjadi tempat ajang pemajangan selera pasar.
Permasalahannya
bukan pada internet atau media sosial, melainkan pada manusia. Jika ada yang
menyatakan bahwa persoalan ini hadir karena adanya internet dan media sosial,
hampir dapat dipastikan orang tersebut kurang hiburan atau kurang perhatian.
Persoalan yang kini muncul ialah dapatkah manusia mencintai sesuatu yang tidak menarik baginya? Jika cinta adalah menerima dan memberi, bisakah seseorang menerima atau memberikan sesuatu kepada sesuatu yang tidak menarik baginya?
Bagaimana persoalan ini harus dijawab. "Bagaimana caranya
mencintai? Lebih mendasar ketimbang apa yang layak dicintai".
Fromm membedakan antara "to have" dengan "to be", to have atau memiliki ialah manifestasi dari kehendak menguasai, mencabut hak otonomi seseorang. Ketika melihat bunga mawar yang indah dan menarik, to have ingin memetiknya, secara tidak langsung, to have telah mematikan hak bunga mawar untuk hidup.
To be atau
menjadi, berkebalikan dengan to have (memiliki), to be merawat
tanpa menguasai, menghidupkan serta menjaga eksistensi seseorang. To be
melihat bunga mawar yang indah tidak untuk dipetik, melainkan dibiarkan tumbuh,
keindahannya dapat dinikmati setiap saat dan menghasilkan kebersamaan dengannya
tanpa menghilangkan haknya untuk hidup.
Sesuatu yang menarik saat ini bisa jadi tidak akan menarik di saat nanti. Menarik atau tidak, sangat dipengaruhi oleh kemampuan seseorang untuk menerima orang lain sebagaimana dirinya sendiri.
Jika seseorang sudah mampu untuk menerima orang lain, maka lepaslah belenggu nilai "menarik atau tidak." Beranjak dari sini, maka pertanyaan bisakah manusia mencintai sesuatu yang tidak menarik baginya, telah terjawab.
Namun, penulis menyadari
betul bahwa kemampuan ini butuh proses, butuh perjuangan terus menerus untuk
dapat keluar dari jerat ego yang selalu memilah-milah orang lain sebagai objek
seleranya.
Cintailah Musuhmu!
Demikian juga halnya menerima atau memberi kepada yang tidak menarik bagi seseorang bisa dilakukan, namun harus melalui jalan sempit; yakni berfokus kepada diri yang memberi bukan kepada siapa yang menerima pemberian.
Tidak ada yang menarik dari pengemis. Tapi fakta dia sudah datang ke meja kopi sambil menengadahkan tangan merupakan sebuah "panggilan" bagi kita untuk memberikan kelebihan uang yang ada.
Jika penjelasan di atas kurang dipahami, mungkin kalimat Nabi Isa dapat menerangkan perkara ini; "cintailah musuhmu" katanya. Berat memang, sebab itu penulis menyebut itu sebagai jalan sempit yang harus dilalui.
Mengapa harus dilalui? Jika
sepakat bahwa kehidupan adalah membangun kebahagiaan, maka memberi adalah
pondasi kebahagiaan.
Sebagai penutup, jika cinta adalah menerima dan memberi maka tidak ada menuntut di sana.[]
* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam.
[1]Buku ini terbit pada tahun 1956 dengan latar belakang sesudah perang dunia kedua sekaligus periode awal revolusi industri ketiga. Banyaknya persoalan sosial pada saat itu telah menyita perhatian Fromm dalam buku ini. Fromm melihat, banyak persoalan sosial saat itu disebabkan oleh kesalahpahaman orang-orang dalam memaknai cinta. Alih-alih membawa kedamaian dan kebahagiaan, justru yang dianggap sebagai cinta oleh masyarakat saat itu-malah membawa kekecewaan dan kegagalan dalam hubungan. Sonia Visita Here, "Hakekat Cinta dan Perannya bagi Etika Humanistik Erich Fromm." Tesis: Magister Ilmu Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, (2021), hlm, 1.
[2]Fadjar Nurcahyo, https://lsfcogito.org/erich-fromm-dan-konsep-ten tang-mencintai/ diakses pada 19 November 2022.
[3]Fadjar Nurcahyo, https://lsfcogito.org/erich-fromm-dan-konsep-tentang-mencintai/[
4]Fadjar Nurcahyo, https://lsfcogito.org/erich-fromm-dan-konsep-tentang-mencintai/[
5]Sonia Visita Here, "Hakekat Cinta dan Perannya bagi Etika Humanistik Erich Fromm," ..., hlm. vii.