Bagaimana Manusia Mendefinisikan Cinta
Oleh: Sarah Ulfah*
Sebelum membahas lebih mendalam terkait terma cinta, terdapat pertanyaan mendasar yang harus dipertanyakan kepada diri kita masing-masing. Tanyakan kepada diri kita, apakah ketika kita telah mendeklarasikan bahwa kita mencintai seseorang, kita telah benar-benar mencintai mereka? Lantas mengapa ketika mereka memilih untuk tidak membersamai hidup kita, kita harus bersedih? Mengapa ketika mereka meyakiti kita, harus bersedih? Jika demikian, yang kita anggap cinta, bukanlah cinta yang sebenar cinta.
Mungkin diantara kita masih banyak yang keliru dalam mengartikan dan mendefinisikan cinta. Untuk itu, mari kita cermati kembali tentang pemaknaan cinta yang sebenar cinta. Patah hati, putus cinta, bertepuk sebelah tangan, dan berbagai problem cinta lainnya tak jarang kita dapatkan pada manusia-manusia yang mengaku dirinya sedang mencintai seseorang.
Indikator kasus tersebut sangat sering kita jumpai pada lirik-lirik lagu yang berciri galau, yang mana dalam lirik lagu tersebut seseorang mengekspresikan berbagai emosi negatif atas kisah asmaranya dengan berbagai kalimat yang terkadang begitu hyper.
Jika kita telusuri lebih jauh, fenomena ini berangkat dari kekeliruan manusia dalam mendefinisikan kata cinta. Mereka mendefinisikan cinta layaknya transaksi yang harus terdapat hukum timbal balik antara kedua pihak. Artinya, cinta sebagai transaksi adalah cinta sebagai objek yang dapat dikonfirmasi oleh salah satu pihak dengan syarat/kriteria yang telah ditetapkan oleh pihak yang lain.
Sederhananya seperti pembeli, ketika ia ingin membeli sesuatu yang dianalogikan dengan ‘cinta’ tersebut, maka ia harus memiliki harga yang sesuai dengan keinginan si penjual. Dan begitupun sebaliknya. Ketika si penjual ingin si pembeli membeli 'cinta' tersebut, maka 'cinta' itu harus sesuai dengan syarat/kriteria yang si pembeli inginkan.
Cinta sebagai transaksi diartikan sebagai hubungan antara satu individu dengan individu lainnya untuk sepakat dalam saling memberi rasa kepada pasangannya dengan syarat tertentu. Pertemuan antara kedua pemberian ini disebut dengan cinta. Jika, salah satu diantara dua individu ini tidak memberi maka tidak disebut cinta.
Di sinilah hadir anggapan cinta bertepuk sebelah tangan. Dimana kebahagiaan baru diperoleh jika sosok yang mereka cintai membalas cintanya. Bukankah yang demikian adalah hukum transaksi yang terjadi antara si penjual dan pembeli? Yang mana si penjual memberikan cinta sebagai objeknya kepada si pembeli, dan si pembeli menerima hal itu.
Cinta bukankah suatu yang dapat diartikan sebagai objek. Karena pada hakikatnya makna cinta itu adalah memberi. Berarti cinta sama dengan memberi. Memberi tanpa ada kenginan dibalas terhadap apa yang diberi. Oleh karena itu, jika kamu mengaku bahwa kamu cinta terhadap seseorang maka sejatinya kamu adalah sedang memberi. memberi rasa, kasih sayang dan pengorbanan terhadap orang yang kamu cintai tersebut.
Namun, jika kamu mengaku kamu mencintai seseorang tetapi masih berharap balasan atas cinta tersebut maka yang kamu akui cinta adalah bukan sebenar cinta, tetapi hanya keinginan untuk merasa saling diuntungkan. Dan atas landasan inilah cinta diartikan sebagai transaksi semata.
Jika manusia masih mendefinisikan cinta sebagai transaksi, maka seseorang yang mengaku mencintai tidak akan pernah bahagia jika orang yang dicintai tidak mencintai dia kembali. Dan potensi berbagai fenomena diatas akan terus terjadi selama cinta masih diartikan sebagai transaksi.
* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam