Tentang Apatis

Oleh: Arizul Suwar*

Merunut makna kata, apatis berasal dari kata Yunani yaitu a dan pathos yang bermakna ketiadaan emosi. Emosi merupakan kesan-kesan yang muncul dalam diri seseorang di saat atau sesudah bersentuhan dengan fakta (kenyataan luar). Misalnya, ketika seseorang melihat taman bunga maka berkesan pada dirinya rasa senang. Rasa senang merupakan emosi sebagai hasil persentuhan antara seseorang dengan fakta (kenyataan luar) yaitu taman bunga.

Pada awalnya, kata apathos sering dihubungkan dengan laku hidup para filsuf Stoa. Apathos dalam makna Stoa berarti ketiadaan emosi karena segala hal yang berada di luar dirinya (fakta atau kenyataan luar) tidak lagi memberi pengaruh kepada batinnya. Ilustrasi sederhana sifat apathos kaum Stoa dapat digambarkan dalam kalimat kiasan "orang tidak bisa membedakan apakah dia senang, sedih, gembira, galau dan sejenisnya. Karena air mukanya sama saja dalam segala kondisi."

Apathos yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi apatis. Dalam KBBI apatis diartikan sebagai acuh tak acuh. Jika melihat penjelasan di atas tentu sangatlah berbeda kesan yang muncul. apathos berkonotasi positif sedangkan apatis berkonotasi negatif. Saya juga belum tau mengapa dalam KBBI apatis diartikan acuh tak acuh, perlu penelusuran lebih lanjut akan hal itu.

Para filsuf Stoa, menjalankan usaha maksimal untuk mendidik jiwa mereka agar menjadi apathos yakni tidak terpengaruh oleh hal-hal di luar dirinya. Usaha ini berangkat dari pengetahuan dan kesadaran bahwa antara fakta dan kesan itu berbeda. Fakta adalah segala sesuatu yang terjadi atau yang ada dan tak bisa ditolak, sedangkan kesan adalah respon jiwa terhadap fakta. Seseorang yang berlari di depan anda sambil berteriak-teriak adalah fakta. Tapi rasa jengkel, tidak senang, merasa tidak dihargai adalah kesan.

Fakta tidak bisa ditolak namun kesan dapat diubah. Latihan pasti diperlukan dan perlu diingat bahwa kesan negatif yang muncul dalam batin, jika tidak dididik, tentu akan menimbulkan penderitaan bagi orang yang bersangkutan dan bukannya orang lain.

Setelah jelas perbedaan fakta dengan kesan maka selanjutnya seseorang harus berfokus kepada kesan yang muncul dalam jiwanya. Kesan itu terus menerus diperbaiki, diarahkan agar tidak menimbulkan penderitaan dalam batinnya. Contoh konkretnya; ketika ada hal-hal di luar diri (seperti fakta ada anak yang bandel) yang berpotensi untuk menimbulkan kemarahan maka kesan itu harus terus diintrospeksi dan diarahkan untuk tidak melahirkan ucapan atau tindakan yang dipicu oleh kesan marah. Di antara cara untuk introspeksi itu ialah dengan menyadari bahwa kemarahan tidaklah memberikan hasil perubahan bagi si anak, malahan kemarahan hanya akan menimbulkan penderitaan dan penyesalan.

Filsafat Stoa tidak bisa dilepaskan dari laku hidup. Ianya praktik keseharian dalam segala kondisi dan situasi. Mendidik jiwa untuk menahan diri dari kesan-kesan yang negatif terhadap berbagai fakta kehidupan. apathos sebagai laku hidup bukanlah sebatas ucapan, dianya praktik, perjuangan terus menerus. []

* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan