Menjadikan Rasulullah sebagai Role Model dalam Mendidik Karakter
Oleh: Sarah Ulfah
Tujuan paling dasar dalam pendidikan Islam adalah untuk
membentuk karakter peserta didik sesuai dengan nilai-nlai yang telah diajarkan Islam. Oleh
karena itu, ruh dalam pendidikan Islam itu sendiri adalah tentang
bagaimana mendidik akhlak untuk menjadi manusia yang bisa menguasai dirinya
sendiri agar tidak melampaui sekat-sekat yang telah dibatasi oleh agama. Ini
tentunya menjadi tanggung jawab besar bagi pendidik. Sejatinya pendidik tidak
hanya berfokus kepada mentransfer pengetahuan semata-mata, namun
mentransfer values (nilai-nilai) yang sifatnya lebih diutamakan daripada pengetahuan.
Hal ini senada dengan pernyataan Almarhum KH. Dimyati Rais -pengasuh ponpes Al
Fadhlu wal Fadhilah Kaliwungu, Kendal- yang mengatakan bahwa “jika anda menjadi
guru hanya sekedar transfer pengetahuan, akan ada masanya dimana anda tidak
dibutuhkan karena google lebih cerdas dan lebih tahu banyak hal daripada anda.
Namun jika anda menjadi guru yang mampu mentransfer adab, ketaqwaan dan
keikhlasan maka anda akan selalu dibutuhkan, karena google tidak memiliki semua
itu.” Perkataan Almarhum KH. Dimyati Rais begitu nyata kita
rasakan saat ini bahwa dalam perkembangan zaman yang begitu masif, sudah bukan
saatnya lagi menganggap bahwa pendidik adalah satu-satunya sumber belajar.
Namun dengan segala tantangan dan carut marut nya zaman, yang lebih dibutuhkan
peserta didik sebenarnya adalah pendidik yang benar-benar mendidik nilai dan
karakter sebagaimana yang tidak dimiliki oleh teknologi dalam kecanggihan
zaman.
Krisis
moral yang dihadapi para generasi muda saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Maraknya
kasus narkoba, bullying, pergaulan bebas bahkan sampai kepada kasus LGBT pun
sudah tidak terbendung lagi. Hal ini mencerminkan bahwa pendidikan agama Islam
dalam ranah practice harus diberi perhatian seutuhnya. Terlebih oleh
para pendidik. Selaku pelaksana pendidikan, sumbangsih yang dapat dilakukan
adalah dengan terus menerus mencari solusi dan pendekatan terbaik dalam menyelesaikan
problematika tersebut.
Tentunya
kita mengetahui bahwa pendidik merupakan salah satu jembatan untuk pembentukan
generasi-generasi yang berakhlakul karimah. Oleh karena, itu jika kita
berbicara permasalahan krisis moral generasi saat ini, alangkah baiknya
perbaikan tersebut dimulai dari diri kita sendiri sebagai pendidik terhadap suatu
generasi. Karena bagaimanapun, yang dikatakan pendidik yang sebenarnya adalah mereka yang
selalu berusaha mencontohkan keteladanan bagi anak
didiknya.
Keteladanan yang melekat dalam diri seorang pendidik
adalah modal utama dalam keberhasilan pendidikan Islam. Menjadi pendidik bukan
melulu tentang memberi materi pelajaran tanpa menghias diri dengan sikap-sikap
keteladanan dan mengukuhkan kepribadian dengan nilai-nilai spiritual. Karena,
menerima perintah tanpa disertai keteladanan akan membuat peserta didik
menganggap bahwa segala ilmu pengetahuan hanyalah sebatas pada teori saja.
Inilah salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya keadaan dimana peserta
didik yang memiliki nilai tinggi pada ujian kognitifnya, belum tentu memiliki
akhlak yang baik dalam pergaulan dan kehidupannya.
Dalam hal mendidik karakter, Rasulullah telah
mencontohkannya dalam kehidupan sehari-hari beliau. Ketika Rasulullah
memerintahkan kepada sahabatnya untuk melakukan suatu hal, maka sudah pasti
beliau juga melakukan hal tersebut. Begitupun sebaliknya ketika melarang kepada
sahabatnya untuk tidak melakukan suatu hal, maka sudah pasti beliau juga tidak
melakukan hal tersebut.
Dalam sebuah riwayat mengkisahkan, Rasulullah
saw dan para sahabatnya menggali parit di sebelah utara kota Madinah sebagai
benteng pertahanan dalam menghadapi musuh gabungan, antara kaum jahiliyah Mekah
dengan didukung Yahudi dan Nasrani Madinah. Parit yang digali itu cukup
panjang, lebar dan dalam. Perbekalan yang tersedia sangat menipis, sehingga
sebagian sahabat terpaksa mengganjal perutnya dengan batu sebagai penahan rasa
lapar. Beberapa sahabat datang kepada Rasulullah saw mengadukan keadaan mereka
yang kelaparan, sambil memperlihatkan perutnya yang diganjal batu, maka
Rasulullah saw pun membukakan bagian perutnya juga, dan nampaklah dua buah batu
mengganjal perut beliau.
Kisah diatas seharusnya bisa menjadi bahan intropeksi bagi
setiap pendidik. Menjadi pendidik tidak hanya terus menerus melarang dan
memerintahkan suatu perbuatan tanpa memanifestasikan apa yang dikatakan kedalam
perbuatannya sendiri. Bersebab peserta didik adalah
manusia yang masih berada pada ranah diberi pembelajaran dan banyak mencontoh
serta belum memiliki kedewasaan dalam bersikap, maka sangat dikehendaki agar segala
yang diperintahkan dan yang dilarang oleh sang pendidik termanifestasi terlebih
dahulu dalam diri mereka. Setelah itu terjadi, maka para peserta didik dengan
mudah dapat terpengaruh dari kepribadian pendidiknya tersebut. Sehingga
perubahan positif yang diinginkan dengan lebih mudah dapat terwujudkan.