Hidup Minimalis Untuk Mengurangi Stress


Oleh: Tuhfatul Athal*

Setuju atau tidak, stres seolah selalu menghantui kita dalam berbagai hal, halus, tidak berwujud tapi menyakitkan, tidak peduli umur, jenjang pendidikan, pekerjaan, maupun gender. 

Sebenarnya, ada banyak sekali faktor-faktor yang memicu stres, baik itu internal maupun eksternal. Namun, dalam hal ini penulis ingin mengupas salah satu pemicu stres yang dianggap sepele namun ternyata begitu berdampak.

Rumah, tempat yang seharusnya dipenuhi dengan kenyamanan, keindahan dan kemanjaan, namun bayangkan, ketika sore hari menjelang malam, kamu membawa beban penuh di kepala, sendi-sendimu menjerit, dan matamu ingin sekali terlelap dengan suasana yang dimanjakan oleh aromaterapi dari sudut ruangan. 

Tapi, ekspektasi itu seketika buyar ketika kamu baru saja membuka pintu dan mendapati kenyataan bahwa rumahmu sesak dengan barang, bahkan hampir tidak ada ruang kosong di sisi mana pun. Bukankah realita ini sama sekali tidak berdampak baik bagi mentalmu yang kacau tadi? 

Bukankah jika seandainya pemandangannya rapi dan tidak sesak sedari pertama menyambutmu saat membuka pintu rumah, akan sangat melegakan dan menawarkan kenyamanan? Masalahnya, barang-barang tersebut yang membuat rumahmu sesak itu, kebanyakan tidak sepenuhnya menyumbang guna, hanya membuat rumah pengap alih-alih membuat pandangan jadi rileks dan nyaman malahan menambah beban di pikiran. Ini bukanlah masalah sepele, ini adalah masalah besar.

Francine Jay yang dikenal juga sebagai Miss Minimalis menulis satu buku yang sangat menarik dan memberi solusi nyata untuk permasalahan ini, bukunya diberi judul "The Joy of Less". Francine menawarkan konsep hidup minimalis untuk menyulap rumah menjadi surga.

Dalam menerapkan konsep minimalis, kita perlu memahami terlebih dahulu apa itu minimalis. Francine menyebutkan bahwa minimalis tidak sama dengan "kosong". karena "kosong" lebih berkaitan dengan kehilangan dan kehampaan, minimalis juga bukan soal desain rumah elit yang dilengkapi furnitur mewah, interior mahal dan ruang serba putih. 

Minimalis yang sebenarnya adalah melonggarkan ruangan, tidak sesak, sehingga ruangan benar-benar bisa dipakai untuk fungsi yang sesungguhnya, ruang keluarga dipakai untuk bersantai dengan keluarga, kamar tidur benar-benar dipakai untuk mengistirahatkan badan dan pikiran, karena di sana lah letak keindahan minimalis.

Mengurus barang sebenarnya memang sangat merepotkan, berapa jam biasanya kita mengelap furnitur setiap harinya? Berapa jam yang kita habiskan untuk membereskan barang-barang yang sebenarnya tidak begitu penting di kamar? Coba pertimbangkan, dan bayangkan seandainya barang itu tidak ada, pastinya ruang akan lebih lega, dan kita bisa menggunakan waktu untuk melakukan hal lain yang lebih penting dari pada sekadar merapikan barang-barang yang tidak berguna tersebut. Lagi pula, tidak semua barang harus kita miliki, karena kita tidak pernah dinilai dari barang apa yang kita punya.

Tidak bisa dipungkiri, di luar sana ada banyak sekali dorongan yang seolah-olah memaksa kita untuk memiliki suatu barang yang padahal tidak terlalu penting untuk dibawa pulang, seperti bujuk rayu sales sebuah brand yang menarik tanganmu ketika di mall, lalu mereka mengeluarkan jurus marketingnya se hingga membuatmu terlena, mengeluar kan dompet, menarik uang dan membeli barang itu, walau persis sebulan yang lalu kau juga telah membeli barang yang sama. 

Kasus lain terjadi saat undian hadiah, baik di mall atau di tempat lain, suatu hari kau beruntung mendapat undian termos, di sinilah skill berpikir diuji, jika termos itu diterima maka pastinya termos itu tidak terlalu berfungsi karena di rumah ada termos yang masih sempurna untuk digunakan. Untuk menghindari faktor seperti ini memang sulit, apalagi di era maraknya tawaran iklan dimana-mana termasuk sosial media.

Seseorang yang ingin menerapkan konsep minimalis, harus benar-benar selektif terhadap barang yang akan dibawa masuk ke rumah, pastikan barang tersebut memang benar-benar memiliki manfaat yang tidak bisa digantikan oleh barang lain, rumah kita adalah istana kita, maka jadilah penjaga pintu yang bijak ketika melewatkan barang-barang masuk ke rumah. 

Kita pun punya kendali penuh untuk bijak ketika membeli barang, barang mana yang layak untuk dibeli dan punya manfaat besar, bukan sekadar membeli karena hasrat ingin memiliki, karenanya pastikanlah untuk tidak membeli barang "sampah" apalagi membiarkannya menetap di istanamu.

Sedangkan jika ada barang yang ingin dikeluarkan dari rumah, maka pertimbangkan apakah barang tersebut layak untuk disimpan saja, dibuang, atau diberikah kepada yang lebih membutuhkan, sebelum barang tersebut membuatmu stres berkepanjangan.

Mungkin barang tidak secerewet anabul peliharaan, walau barang hanya diam membisu di sudut ruangan, tapi percayalah bahwa barang itu sebenarnya adalah beban, apalagi Tupperware yang dibeli mahal secara hutang, lalu hanya dipajang, ketika pandangan mata melirik Tupperware tadi bukannya malah senang, tapi terbeban dengan hutang, lagian Tupperware bukanlah barang hiasan.


Untuk menggambarkan rasanya merdeka hidup minimalis tanpa dibebani oleh barang-barang, cocok dianalogikan ketika kita sedang bepergian. Bayangkan jika ketika bepergian harus membawa tiga koper besar, tentu sangat merepotkan karena harus menyeret barang barang ke mana pun pergi. Atau ketika berangkat kuliah, kita harus membawa satu tas penuh barang-barang, pastinya repot, dan tidak jarang berpengaruh ke stres. 

Bahkan jika ingin dikaitkan dengan agama Islam, bukankah agama menyuruh kita untuk tidak berlebihan soal hal-hal duniawi, dan dalam hal ini, barang termasuk kategori hal-hal duniawi.[]

Mahasiswa Pascasarjana IAIN Lhokseumawe

Next Post Previous Post
1 Comments
  • 5Tips
    5Tips 27 Oktober 2023 pukul 14.56

    Saya teringat sebuah kalimat menarik dari Kuntowijoyo dalam novelnya berjudul Khutbah di Atas Bukit. Di sana dia tuliskan, redaksinya lebih kurang; ketika kamu merasa memiliki sesuatu, sebenarnya kamulah yang dimiliki olehnya. Seperti barang-barang, kita merasa memiliki mereka, padahal kitalah yang mereka miliki, bukankah waktu kita yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk hal lain, malah disita oleh barang-barang itu untuk merawatnya.

Add Comment
comment url

Artikel Relevan