Wujud “Dajjal” dalam Bencana
INTIinspira - Pada usia sepuluh tahun, saya pertama kali mendengar kisah tentang Dajjal dari penuturan seorang ustazah di bangku diniyyah.
Dajjal digambarkan sebagai sosok yang datang di akhir zaman, ketika bumi tak lagi layak huni akibat kezaliman manusia. Ia kejam, menentang Tuhan, bermata satu, dan gemar menipu.
“Bagi mereka yang tunduk dan patuh, Dajjal akan memberi kenikmatan semu,” kata ustazah. “Namun bagi yang menolak, ia akan menghukum mereka dengan cara yang kejam.”
Sebagai anak-anak, saya menerima gambaran itu apa adanya. Dalam bayangan saya, Dajjal adalah makhluk fisik yang jauh di masa depan.
Lingkungan tempat saya tumbuh masih dipenuhi orang-orang baik. Dunia terasa aman dan layak huni. Saya yakin, Dajjal tak mungkin hadir dalam situasi seperti itu.
Pandangan tersebut mulai berubah ketika saya memasuki masa pesantren dan bangku kuliah.
Belum lagi kisah tentang fasilitas umum berbasis keagamaan yang membatasi akses bantuan dasar, dengan alasan kelelahan atau keterbatasan.
Dajjal digambarkan sebagai sosok yang datang di akhir zaman, ketika bumi tak lagi layak huni akibat kezaliman manusia. Ia kejam, menentang Tuhan, bermata satu, dan gemar menipu.
“Bagi mereka yang tunduk dan patuh, Dajjal akan memberi kenikmatan semu,” kata ustazah. “Namun bagi yang menolak, ia akan menghukum mereka dengan cara yang kejam.”
Sebagai anak-anak, saya menerima gambaran itu apa adanya. Dalam bayangan saya, Dajjal adalah makhluk fisik yang jauh di masa depan.
Lingkungan tempat saya tumbuh masih dipenuhi orang-orang baik. Dunia terasa aman dan layak huni. Saya yakin, Dajjal tak mungkin hadir dalam situasi seperti itu.
Pandangan tersebut mulai berubah ketika saya memasuki masa pesantren dan bangku kuliah.
Di sana, saya menyadari bahwa ajaran agama sarat dengan simbol dan metafora. Banyak istilah keagamaan tidak dimaksudkan untuk dipahami secara harfiah.
Salah satu ungkapan yang kerap dikutip di kalangan sufi menyebutkan bahwa hati orang beriman adalah rumah Tuhan.
Salah satu ungkapan yang kerap dikutip di kalangan sufi menyebutkan bahwa hati orang beriman adalah rumah Tuhan.
Tentu yang dimaksud bukanlah keberadaan bangunan fisik, melainkan penegasan bahwa nurani manusia seharusnya bersih dari kerak ego dan kepentingan diri. Pemahaman semacam ini sulit diterima jika seseorang hanya berpegang pada makna tekstual.
Sejak saat itu, saya mulai bertanya: apakah wujud Dajjal yang diajarkan kepada saya di masa kecil memang harus dipahami secara literal?
Pengalaman menghadapi sebuah bencana besar memberi saya jawaban yang pahit. Bagi saya, Dajjal bukan semata sosok mitologis di akhir zaman, melainkan simbol dari manusia yang kehilangan nuraninya.
Pada hari-hari awal bencana, saya menyaksikan bagaimana perbedaan antara pernyataan resmi dan kenyataan di lapangan terbentang begitu jauh.
Sejak saat itu, saya mulai bertanya: apakah wujud Dajjal yang diajarkan kepada saya di masa kecil memang harus dipahami secara literal?
Pengalaman menghadapi sebuah bencana besar memberi saya jawaban yang pahit. Bagi saya, Dajjal bukan semata sosok mitologis di akhir zaman, melainkan simbol dari manusia yang kehilangan nuraninya.
Pada hari-hari awal bencana, saya menyaksikan bagaimana perbedaan antara pernyataan resmi dan kenyataan di lapangan terbentang begitu jauh.
Seorang pejabat tinggi, misalnya, menyebut situasi yang melanda beberapa wilayah sebagai sesuatu yang “tidak luar biasa” dan hanya tampak mencekam di ruang maya.
Padahal, di lapangan, penderitaan hadir nyata dan mendesak.
Sejak awal bulan itu, seorang rekan saya di salah satu daerah terdampak melaporkan bahwa banyak ibu hamil dan bayi terpaksa bermalam di tenda darurat seadanya, bahkan tanpa perlengkapan yang layak.
Sejak awal bulan itu, seorang rekan saya di salah satu daerah terdampak melaporkan bahwa banyak ibu hamil dan bayi terpaksa bermalam di tenda darurat seadanya, bahkan tanpa perlengkapan yang layak.
Bantuan struktural belum juga tiba, meski akses menuju wilayah tersebut sebenarnya sudah memungkinkan.
Menariknya, beberapa hari kemudian, fasilitas darurat mendadak tersedia dengan cepat.
Menariknya, beberapa hari kemudian, fasilitas darurat mendadak tersedia dengan cepat.
Waktu kehadirannya menimbulkan pertanyaan: apakah karena adanya rencana kunjungan pejabat penting? Dugaan semacam itu sulit dihindari, meski tak pernah diucapkan secara resmi.
Sebab, menurut penuturan rekan saya—seorang relawan independen tanpa fasilitas khusus—ia justru telah lebih dulu mampu menjangkau wilayah itu dan menyalurkan bantuan dari kota lain.
Sebab, menurut penuturan rekan saya—seorang relawan independen tanpa fasilitas khusus—ia justru telah lebih dulu mampu menjangkau wilayah itu dan menyalurkan bantuan dari kota lain.
Fakta ini memberi kesan bahwa keterlambatan bukan disebabkan oleh keterisolasian semata.
Fenomena serupa juga terjadi di daerah lain. Infrastruktur yang selama berhari-hari bermasalah tiba-tiba berfungsi normal selama kunjungan singkat otoritas, lalu kembali lumpuh setelah rombongan pergi.
Namun wajah Dajjal tidak hanya hadir dalam kebijakan dan struktur kekuasaan. Ia juga menjelma dalam perilaku sebagian warga yang sebenarnya mampu secara ekonomi.
Alih-alih menahan diri demi kepentingan bersama, sebagian orang memilih mempertahankan kenyamanan pribadi dengan cara apa pun.
Fenomena serupa juga terjadi di daerah lain. Infrastruktur yang selama berhari-hari bermasalah tiba-tiba berfungsi normal selama kunjungan singkat otoritas, lalu kembali lumpuh setelah rombongan pergi.
Namun wajah Dajjal tidak hanya hadir dalam kebijakan dan struktur kekuasaan. Ia juga menjelma dalam perilaku sebagian warga yang sebenarnya mampu secara ekonomi.
Alih-alih menahan diri demi kepentingan bersama, sebagian orang memilih mempertahankan kenyamanan pribadi dengan cara apa pun.
Penggunaan sumber daya berlebihan memicu kepanikan dan antrean panjang, sehingga mereka yang benar-benar berada dalam kondisi darurat justru terpinggirkan.
Di sisi lain, ada pula pihak-pihak yang melihat bencana sebagai peluang.
Di sisi lain, ada pula pihak-pihak yang melihat bencana sebagai peluang.
Harga kebutuhan pokok melonjak, biaya-biaya kecil mendadak membengkak, dan empati seakan kalah oleh hitung-hitungan keuntungan.
Nilai moral yang selama ini diagungkan mendadak menjadi kabur.
Ironi bertambah ketika seorang pejabat urusan sosial justru lebih sibuk menyoal prosedur administratif bagi warga yang saling menolong.
Ironi bertambah ketika seorang pejabat urusan sosial justru lebih sibuk menyoal prosedur administratif bagi warga yang saling menolong.
Secara aturan mungkin benar, tetapi pertanyaan yang lebih mendasar adalah: di mana kehadirannya saat bantuan paling dibutuhkan?
Belum lagi kisah tentang fasilitas umum berbasis keagamaan yang membatasi akses bantuan dasar, dengan alasan kelelahan atau keterbatasan.
Padahal, sumber daya tempat itu berasal dari solidaritas umat—dari orang-orang yang kini justru berada dalam kesulitan.
Saya tidak pernah menyangka akan menyaksikan begitu banyak “Dajjal” sekaligus. Peringatan agama ternyata tidak menunggu kiamat. Ia hadir nyata dalam setiap pilihan hidup manusia.
Padamnya nurani itulah yang membangkitkan Dajjal. Ketika empati mati, ketika kepedulian digantikan kalkulasi, dan ketika jabatan lebih penting daripada tangisan sesama, di situlah kabut batin menutup pandangan.
Lebih menyedihkan lagi, di tengah masa darurat yang belum usai, tersiar kabar tentang pemimpin daerah yang justru meninggalkan wilayahnya dengan berbagai alasan personal.
Saya tidak pernah menyangka akan menyaksikan begitu banyak “Dajjal” sekaligus. Peringatan agama ternyata tidak menunggu kiamat. Ia hadir nyata dalam setiap pilihan hidup manusia.
Padamnya nurani itulah yang membangkitkan Dajjal. Ketika empati mati, ketika kepedulian digantikan kalkulasi, dan ketika jabatan lebih penting daripada tangisan sesama, di situlah kabut batin menutup pandangan.
Lebih menyedihkan lagi, di tengah masa darurat yang belum usai, tersiar kabar tentang pemimpin daerah yang justru meninggalkan wilayahnya dengan berbagai alasan personal.
Di saat lumpur belum surut dan luka belum kering, tanggung jawab seolah bisa ditanggalkan sementara.
Jika kita tak lagi tersentuh oleh tangisan bayi kelaparan, kegelisahan ibu hamil, dan tatapan kosong seorang ayah yang kehilangan harapan, saat itulah kita kehilangan kelayakan sebagai manusia.
Jika kita tak lagi tersentuh oleh tangisan bayi kelaparan, kegelisahan ibu hamil, dan tatapan kosong seorang ayah yang kehilangan harapan, saat itulah kita kehilangan kelayakan sebagai manusia.
Dan pada titik itu, Dajjal tidak lagi sekadar cerita—ia hidup di antara kita.
Penulis: Imam Mufakkir (Pemerhati Demokrasi dan Sosial, penulis dapat dihubungi melalui: imam.mufakkir12@gmail.com)
Ilustrasi: Ilustrasi dibuat dengan AI


