Mengapa Hidup Harus Selalu Hitam atau Putih?

INTIinspira - Banyak orang tanpa sadar menjalani hidup dengan cara pikir biner.

Cara pikir yang menilai hidup sebagai dua kutub yang saling berlawanan: sehat atau sakit, sukses atau gagal, benar atau salah, bahagia atau menderita. Tidak ada opsi selain itu.

Cara pikir biner memang tegas dan jelas. Hitam atau putih. Namun, cara pikir ini justru menyimpan persoalan yang tidak sederhana.

Mari kita tilik kondisi aktual. Di dunia kerja misalnya, seorang merasa dirinya gagal total hanya karena belum mencapai target tertentu. Padahal proses belajar masih terus berlangsung.

Dalam dunia pendidikan, cara pandang serupa juga jamak terjadi. Seorang pelajar yang nilainya menurun atau tidak masuk peringkat atas, mulai melihat dirinya sendiri sebagai “pelajar gagal”. 

Padahal, setiap pelajar memiliki ritme belajar, minat, dan potensi yang beragam, yang sering kali tidak tertangkap oleh ukuran formal.

Di media sosial, kebahagiaan sering ditampilkan sebagai kondisi ideal yang selalu harus diposting. 

Saat sedih atau lelah muncul, seseorang justru menganggap dirinya “tidak normal”. Emosi yang wajar dalam hidup manusia direduksi menjadi tanda kegagalan personal.

Sementara itu, mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, sering menjadi sasaran bisik-bisik sosial. Sehingga mereka merasa gagal atau tidak berguna.

Padahal, realitas ekonomi tidak selalu menyediakan kepastian, dan tidak semua orang berada pada titik start yang sama dalam hidupnya.

Sikap biner akhirnya membuat hidup terasa seperti ujian seleksi. Hanya ada dua pilihan, lulus atau gugur.

Akibatnya, banyak orang hidup dalam kecemasan kronis, takut berada di sisi “yang salah”, takut gagal, takut tidak sesuai dengan standar yang dibayangkan.

Cara pikir biner pada akhirnya menyempitkan hidup secara berlebihan.

Hidup yang sesungguhnya rumit, berubah-ubah, dan penuh kejutan, dipaksa masuk ke dalam kategori yang kaku.

Segala sesuatu harus segera diberi label: berhasil atau gagal, kuat atau lemah, normal atau tidak normal.

Akibatnya, banyak pengalaman hidup tidak lagi dipahami sebagai proses, melainkan sebagai hasil akhir yang harus segera dinilai.

Pengalaman ini digambarkan dengan jujur oleh Matt Haig dalam The Comfort Book. Dia menulis bahwa pada awalnya ia mengira penderitaan adalah dirinya sendiri.

Banyak orang kemungkinan merasakan hal yang sama. Saat menderita, seseorang merasa seolah dirinya sepenuhnya adalah penderitaan itu.

Namun, Haig kemudian menyadari bahwa anggapan tersebut keliru.

Manusia selalu lebih besar dari penderitaannya. Penderitaan adalah pengalaman diri, dan pengalaman, pada dasarnya, bisa berubah.

Masalah utama, sebagaimana diakui Haig, terletak pada cara pandang yang biner.

Dia percaya bahwa manusia hanya bisa berada pada dua kondisi: sakit atau sehat, waras atau tidak waras. 

Ketika ia didiagnosis depresi, ia merasa seolah dilempar ke wilayah asing yang terpisah dari dunia sebelumnya, tanpa jalan kembali. Seakan-akan hidup telah memutuskan vonis final.

Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Hidup tidak selalu hanya begini atau hanya begitu. Sering kali, hidup berjalan sebagai begini dan begitu sekaligus.

Seseorang bisa terluka, tetapi tetap berfungsi. Bisa ragu, namun tetap melangkah. Bisa jatuh, tanpa harus mengakhiri segalanya.

Pandangan biner perlahan mematahkan harapan karena tidak memberi ruang bagi kondisi “antara”.

Kesalahan tidak dilihat sebagai bagian dari belajar, melainkan sebagai bukti kegagalan.

Orang terdorong untuk terus terlihat “baik-baik saja”, meski batinnya sudah terseok-seok. Ia takut berada di posisi antara, karena posisi itu tidak diakui.

Mengubah cara pikir biner bukan berarti hidup tanpa arah dan tujuan. Justru sebaliknya, ini adalah upaya memahami hidup secara lebih jujur.

Bahwa jatuh dan bangkit adalah bagian yang wajar, bahwa ragu tidak selalu berarti kalah, dan bahwa hidup tidak bisa disederhanakan hanya ke dalam dua pilihan yang kaku.[]

Penulis: Arizul Suwar (Alumnus Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).

Ilustrasi: Photo Of Person's Hand With Words/Pexels.com

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan