Menakar Arah Dunia Baru dari Seoul

INTIinspira - Pertemuan antara Donald Trump dan Xi Jinping di Seoul, Korea Selatan, pada Oktober 2025 lalu menjadi sorotan dunia. Pertemuan yang kelihatan seperti pertemuan rutin biasa ini dapat dimaknai sebagai tanda bahwa arah dunia sedang berubah.

Sebelumnya, Amerika selama puluhan tahun dianggap sebagai penguasa tunggal dalam urusan ekonomi dan politik dunia. Kali ini, posisi itu sudah mulai bergeser. China tidak lagi berdiri sebagai “pemain baru,” tetapi muncul sebagai kekuatan setara yang berani menawarkan arah baru bagi dunia.

Hubungan AS dan China sudah lama tegang, terutama sejak periode pertama Trump memimpin. Saat itu, perang dagang dimulai. Tarif impor dinaikkan, perusahaan China dibatasi, dan keduanya saling tuduh soal pencurian teknologi.

Situasi ini sempat menimbulkan ketakutan bahwa dunia sedang menuju konflik besar. Tetapi pada pertemuan di Seoul, suasana tidak sekeras sebelumnya.

Keduanya sepakat melakukan semacam “jeda,” bukan penyelesaian, hanya menunda pertikaian langsung. Istilah yang dipakai sebagian pengamat adalah “pause diplomacy,” sebuah masa di mana keduanya menahan diri sebelum melangkah lebih jauh.

Trump datang dengan membawa kepentingan ekonomi Amerika, terutama soal pasokan logam tanah jarang yang penting untuk industri teknologi dan militer.

Trump berharap China membeli lebih banyak kedelai dari Amerika untuk membantu para petani yang menjadi basis pemilihnya. Ia juga ingin membatasi hubungan energi antara China dan Rusia, karena hubungan kedua negara itu semakin erat.

Akan tetapi, meski tuntutan Trump terkesan keras, hasil nyata dari pertemuan itu tidak terlalu besar. Banyak keputusan bersifat simbolis saja, tanpa perubahan praktik yang jelas. Dari sini terlihat bahwa Amerika sudah tidak semudah dulu memaksakan posisi dan kepentingannya.

Di sisi lain, Xi Jinping datang dengan cara yang lebih tenang. Ia tidak membalas tekanan dengan ancaman atau kemarahan. Xi justru memakai metafora dengan menyebut hubungan AS–China seperti kapal besar yang harus tetap berlayar meskipun sedang diterpa angin dan badai.

Ucapan ini seakan menegaskan kembali bahwa China tidak mau hubungan dengan AS putus begitu saja, tetapi juga tidak takut menghadapi tekanan. Sikap ini mencerminkan strategi China yang lebih panjang.

China kini melihat dirinya sebagai negara yang setara dengan AS. Dalam pernyataan pejabatnya, China menekankan bahwa pembangunan yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan upaya Amerika memperkuat dirinya.

China ingin menawarkan tatanan baru, di mana banyak negara bisa tumbuh bersama tanpa dikendalikan satu kekuatan besar. Inilah gagasan dunia multipolar: dunia dengan banyak pusat kekuatan, bukan hanya satu.

Selain hubungan bilateral, pertemuan ini juga tidak dapat dilepaskan dari keadaan kawasan Asia. Dalam beberapa tahun terakhir, Asia semakin kuat sebagai pusat ekonomi baru. Negara-negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan menjadi pusat industri yang saling terhubung lewat perjanjian perdagangan.

Melalui forum seperti ASEAN Summit atau RCEP, kawasan Asia Timur membangun jaringan ekonomi yang luas dan saling menguntungkan.

China juga mendorong penggunaan mata uangnya, yuan, dalam perdagangan internasional, terutama dalam transaksi minyak. Jika semakin banyak negara memakai yuan dalam perdagangan energi, dominasi dolar akan perlahan menurun.

Selain itu, China telah membangun sistem pembayaran internasional sendiri bernama CIPS, yang menjadi alternatif bagi sistem yang dikendalikan Barat. Semua langkah ini menunjukkan betapa seriusnya China membangun fondasi ekonomi baru yang tidak bergantung pada Amerika.

Menariknya, dua isu yang sebenarnya sangat panas, yaitu Taiwan dan teknologi semikonduktor, hampir tidak dibahas dalam pertemuan ini. Padahal, kedua hal ini merupakan sumber ketegangan yang paling rentan.

Diamnya kedua pihak menunjukkan bahwa mereka memilih menahan diri untuk sementara. China tampak yakin bahwa dalam beberapa tahun ke depan, mereka akan mampu memproduksi chip sendiri dan tidak akan lagi bergantung pada teknologi dari Barat.

Jika itu terjadi, salah satu senjata kuat AS dalam persaingan teknologi akan berkurang. Sementara itu, Trump memilih tidak mengangkat isu Taiwan secara terbuka, mungkin demi menjaga ketenangan menjelang pemilihan.

Jika melihat gambaran yang lebih luas, kita sebenarnya sedang berada di masa perubahan sejarah. Selama beberapa dekade, dunia hidup di bawah sistem neoliberalisme, yaitu sistem yang sangat percaya pada pasar bebas dan pergerakan modal tanpa batas.

Namun, krisis demi krisis membuat banyak negara mulai mempertanyakan sistem ini. Mereka melihat bahwa pasar bebas tidak selalu membawa manfaat bagi rakyat. Akibatnya, banyak negara kini memilih jalan yang berbeda.

China dan Rusia menguatkan ekonomi dengan campur tangan negara. Amerika justru kembali ke proteksionisme, yaitu melindungi ekonomi dalam negerinya. Sementara itu, negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin berusaha memaksimalkan sumber daya mereka.

Dalam suasana global yang baru ini, negara-negara berkembang punya peluang besar. Mereka dapat memperluas hubungan dagang tanpa harus selalu bergantung pada dolar. Mereka juga bisa memanfaatkan teknologi dan infrastruktur yang ditawarkan oleh China dan negara-negara BRICS.

Namun peluang besar ini juga diiringi risiko. Amerika tentu tidak akan tinggal diam bila banyak negara lebih memilih bekerja sama dengan China atau Rusia. Persaingan antarblok bisa menimbulkan tekanan politik dan bahkan konflik.

Bagi Indonesia, perubahan global ini merupakan tantangan sekaligus kesempatan. Kita tidak harus berpihak secara total pada satu negara. Yang terpenting adalah memainkan peran sebagai penyeimbang. Indonesia punya posisi strategis, baik secara geografis maupun ekonomi.

Kita bisa menjadi penghubung antara banyak kekuatan besar. Semangat Konferensi Asia Afrika yang dahulu memperjuangkan kemandirian bangsa-bangsa bisa kita hidupkan kembali dalam bentuk yang sesuai zaman sekarang.

Negara-negara berkembang sekarang punya ruang lebih besar untuk menyusun jalan mereka sendiri. Kita belum tahu pasti ke mana arah dunia multipolar ini, tetapi jelas bahwa masa depan tidak lagi ditentukan oleh satu suara saja.[]


Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)
Ilustrasi: American and Chinese flags and USA dollars/Pexels.com
Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan