Matahari Terbit dari Selatan: Visi Baru Dunia oleh BRICS 2025
INTIinspira - KTT BRICS 2025 yang baru saja berakhir di Rio de Janeiro adalah lebih dari sekadar ajang diplomasi. Ia adalah pernyataan kolektif, keras dan jernih, dari sebagian besar umat manusia, bahwa tatanan dunia lama tidak lagi relevan, dan sistem baru kini sedang dibangun – bukan dari Washington atau Brussel, tetapi dari São Paulo, Delhi, Moskow, Beijing, dan Johannesburg.
Jurnalis kawakan Pepe Escobar menggambarkan KTT ini sebagai “sukses besar” bagi Global South. Bagi mereka yang selama puluhan tahun terjebak dalam jerat utang, intervensi, dan ketergantungan ekonomi yang didikte oleh institusi seperti IMF dan Bank Dunia, pesan dari Rio sangatlah membebaskan, sudah saatnya kita mendefinisikan sendiri masa depan kita.
Jurnalis kawakan Pepe Escobar menggambarkan KTT ini sebagai “sukses besar” bagi Global South. Bagi mereka yang selama puluhan tahun terjebak dalam jerat utang, intervensi, dan ketergantungan ekonomi yang didikte oleh institusi seperti IMF dan Bank Dunia, pesan dari Rio sangatlah membebaskan, sudah saatnya kita mendefinisikan sendiri masa depan kita.
Salah satu sorotan utama dari KTT ini adalah langkah besar yang diumumkan oleh Menteri Keuangan Rusia, Anton Siluanov. New Development Bank (NDB), yang sebelumnya masih dianggap sebagai pelengkap lembaga keuangan global yang ada, kini akan naik tingkat menjadi jantung dari arsitektur keuangan baru yang digagas BRICS.
Bank ini tidak hanya akan membiayai megaproyek di negara-negara anggota, tetapi juga mitra-mitra global yang ingin melepaskan diri dari dominasi dolar dan sistem SWIFT yang dikendalikan Barat.
Langkah ini bukan sekadar teknis. Ini adalah keputusan strategis. Ketika transaksi global tidak lagi harus melewati sistem yang bisa digunakan untuk sanksi, blokade, atau tekanan politik, negara-negara Global South memiliki ruang bernapas baru. Mereka bisa fokus pada pembangunan, bukan pada bertahan dari ancaman geopolitik.
Penting juga dicatat bahwa KTT ini tidak bersifat anti-Barat. Presiden Brasil, Lula da Silva, dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, sama-sama menekankan bahwa BRICS bukanlah klub untuk melawan Barat, tetapi forum untuk membangun hubungan internasional yang lebih adil.
Dalam dunia multipolar, keberagaman pendekatan adalah kekuatan, bukan ancaman. BRICS tidak ingin menghancurkan sistem lama; mereka ingin menciptakan alternatif yang lebih manusiawi.
Namun tentu saja, pihak yang merasa kehilangan dominasinya tidak tinggal diam. Escobar menyebut respons Barat sebagai “kemarahan imperial.”
Donald Trump, sebagai simbol lama dari unilateralisme kasar, sudah mengancam akan mengenakan tarif besar – “10, 20, bahkan seribu persen” – terhadap negara-negara BRICS dan mitra mereka. Reaksi semacam ini menunjukkan ketakutan lama: bahwa pengaruh Barat tak lagi absolut.
Yang menarik, meskipun ada pembahasan tentang reformasi Dewan Keamanan PBB dan IMF, Escobar bersikap realistis. Ia menyatakan bahwa “itu tidak akan terjadi.”
Barat tidak akan memberikan ruang sukarela di meja kekuasaan. Maka, seperti yang sedang dilakukan BRICS, lebih baik membangun meja baru – meja di mana semua negara duduk sebagai mitra sejajar, bukan sebagai objek dominasi.
KTT Rio de Janairo juga menampilkan hal-hal yang jarang diliput media Barat: inisiatif bisnis untuk perempuan, proyek teknologi lintas negara, program energi berkelanjutan, dan kerja sama kesehatan. Ini adalah pembangunan yang konkret, bukan hanya retorika.
Lebih penting lagi, KTT ini memperlihatkan bahwa BRICS bukan lagi sekadar singkatan lima negara. Ia telah menjelma menjadi simbol dari 85% populasi dunia yang selama ini dipinggirkan dari pengambilan keputusan global.
Dalam simbolisme yang indah, Escobar menulis: “Matahari akhirnya terbenam di Rio… dan terbit di seluruh Selatan Global.”
Apa yang dimulai di Rio tidak berakhir di Rio. Proyek BRICS untuk membangun dunia multipolar yang berkeadilan kini sudah bergerak. Dan ini bukan proyek revolusi instan, melainkan kerja panjang dan serius.
Dengan fondasi finansial seperti NDB, pendekatan diplomatik yang inklusif, dan kekuatan kolektif ekonomi dan demografi, BRICS menawarkan visi masa depan yang berbeda dari narasi dominan selama ini.
Jika sebelumnya G7 dan negara-negara maju menjadi pusat gravitasi dunia, kini dunia sedang menyusun orbit baru. Dan dalam orbit baru ini, nilai-nilai solidaritas, kedaulatan, dan pembangunan bersama menjadi pusat.
Saat Barat sibuk memagari dunia dengan sanksi dan proteksionisme, BRICS justru membuka jalan kerja sama tanpa syarat ideologis. Di sinilah letak kekuatannya – bukan karena BRICS meniru Barat, tetapi karena mereka menawarkan jalan lain.[]
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)/Peminat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Telegram Source
Bank ini tidak hanya akan membiayai megaproyek di negara-negara anggota, tetapi juga mitra-mitra global yang ingin melepaskan diri dari dominasi dolar dan sistem SWIFT yang dikendalikan Barat.
Langkah ini bukan sekadar teknis. Ini adalah keputusan strategis. Ketika transaksi global tidak lagi harus melewati sistem yang bisa digunakan untuk sanksi, blokade, atau tekanan politik, negara-negara Global South memiliki ruang bernapas baru. Mereka bisa fokus pada pembangunan, bukan pada bertahan dari ancaman geopolitik.
Penting juga dicatat bahwa KTT ini tidak bersifat anti-Barat. Presiden Brasil, Lula da Silva, dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, sama-sama menekankan bahwa BRICS bukanlah klub untuk melawan Barat, tetapi forum untuk membangun hubungan internasional yang lebih adil.
Dalam dunia multipolar, keberagaman pendekatan adalah kekuatan, bukan ancaman. BRICS tidak ingin menghancurkan sistem lama; mereka ingin menciptakan alternatif yang lebih manusiawi.
Namun tentu saja, pihak yang merasa kehilangan dominasinya tidak tinggal diam. Escobar menyebut respons Barat sebagai “kemarahan imperial.”
Donald Trump, sebagai simbol lama dari unilateralisme kasar, sudah mengancam akan mengenakan tarif besar – “10, 20, bahkan seribu persen” – terhadap negara-negara BRICS dan mitra mereka. Reaksi semacam ini menunjukkan ketakutan lama: bahwa pengaruh Barat tak lagi absolut.
Yang menarik, meskipun ada pembahasan tentang reformasi Dewan Keamanan PBB dan IMF, Escobar bersikap realistis. Ia menyatakan bahwa “itu tidak akan terjadi.”
Barat tidak akan memberikan ruang sukarela di meja kekuasaan. Maka, seperti yang sedang dilakukan BRICS, lebih baik membangun meja baru – meja di mana semua negara duduk sebagai mitra sejajar, bukan sebagai objek dominasi.
KTT Rio de Janairo juga menampilkan hal-hal yang jarang diliput media Barat: inisiatif bisnis untuk perempuan, proyek teknologi lintas negara, program energi berkelanjutan, dan kerja sama kesehatan. Ini adalah pembangunan yang konkret, bukan hanya retorika.
Lebih penting lagi, KTT ini memperlihatkan bahwa BRICS bukan lagi sekadar singkatan lima negara. Ia telah menjelma menjadi simbol dari 85% populasi dunia yang selama ini dipinggirkan dari pengambilan keputusan global.
Dalam simbolisme yang indah, Escobar menulis: “Matahari akhirnya terbenam di Rio… dan terbit di seluruh Selatan Global.”
Apa yang dimulai di Rio tidak berakhir di Rio. Proyek BRICS untuk membangun dunia multipolar yang berkeadilan kini sudah bergerak. Dan ini bukan proyek revolusi instan, melainkan kerja panjang dan serius.
Dengan fondasi finansial seperti NDB, pendekatan diplomatik yang inklusif, dan kekuatan kolektif ekonomi dan demografi, BRICS menawarkan visi masa depan yang berbeda dari narasi dominan selama ini.
Jika sebelumnya G7 dan negara-negara maju menjadi pusat gravitasi dunia, kini dunia sedang menyusun orbit baru. Dan dalam orbit baru ini, nilai-nilai solidaritas, kedaulatan, dan pembangunan bersama menjadi pusat.
Saat Barat sibuk memagari dunia dengan sanksi dan proteksionisme, BRICS justru membuka jalan kerja sama tanpa syarat ideologis. Di sinilah letak kekuatannya – bukan karena BRICS meniru Barat, tetapi karena mereka menawarkan jalan lain.[]
Penulis: Muhammad Amin (Ketua Persaudaraan Aceh Tionghoa (PAT)/Peminat sejarah dan geopolitik)
Ilustrasi: Telegram Source