Terjebak Sarana, Lupa Tujuan: Sebuah Refleksi

INTIinspira - Dalam hidup, manusia membuat rencana. Kita menetapkan tujuan, lalu memilih cara untuk mencapainya.

Tujuan adalah arah yang dituju, sementara sarana adalah jalan.

Idealnya, sarana membantu kita sampai pada tujuan. Namun dalam praktiknya, tidak jarang yang terjadi justru sebaliknya: kita terlalu sibuk dengan sarana, hingga lupa pada tujuan awal.

Di sinilah muncul apa yang disebut sebagai paradoks sarana–tujuan.

Apa Itu Paradoks Sarana–Tujuan?

Paradoks sarana–tujuan adalah kondisi ketika sesuatu yang awalnya hanya alat atau cara (sarana) justru menjadi tujuan itu sendiri. Akibatnya, tujuan utama yang ingin dicapai malah kabur, terabaikan, atau bahkan hilang sama sekali.

Contoh sederhana bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, seseorang ingin hidup sehat. Tujuannya agar tubuh yang bugar dan pikiran yang segar.

Untuk itu, ia mulai berolahraga dan mengatur pola makan. Olahraga dan diet adalah sarana. Namun, lama-kelamaan ia menjadi terobsesi dengan jadwal olahraga, hitungan kalori, dan angka timbangan.

Ia stres jika satu hari tidak berolahraga, merasa bersalah saat makan sedikit lebih banyak, bahkan kehilangan kebahagiaan.

Pada titik ini, sarana berubah menjadi tujuan. Hidup sehat yang seharusnya membuat hidup lebih baik justru menjadi sumber tekanan.

Contoh lain adalah disiplin.

Banyak orang ingin disiplin agar hidupnya lebih teratur dan produktif. Tetapi ketika disiplin dijalankan secara kaku dan tanpa refleksi, seseorang bisa terjebak pada rutinitas yang melelahkan.

Ia patuh pada jadwal, tetapi lupa mengapa jadwal itu dibuat. Disiplin yang awalnya sarana untuk hidup lebih bermakna justru menjadi beban.

Paradoks ini sering terjadi karena manusia cenderung mencari kepastian. Tujuan biasanya bersifat abstrak, sementara sarana lebih konkret dan bisa diukur.

Lebih mudah menghitung jam belajar daripada menilai apakah seseorang benar-benar memahami pelajaran. Lebih mudah mengejar angka daripada makna.

Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari

Paradoks sarana–tujuan sangat dekat dengan kehidupan kita, baik sebagai pelajar, pekerja, maupun anggota masyarakat.

Bagi pelajar, tujuan utama belajar adalah memahami ilmu dan membentuk karakter. Namun dalam praktiknya, nilai sering menjadi tujuan utama.

Banyak siswa belajar bukan untuk mengerti ilmu, tetapi untuk mendapat nilai angka tinggi.

Les, tugas, dan ujian yang seharusnya menjadi sarana belajar berubah menjadi tujuan itu sendiri. Akibatnya, muncul budaya mencontek, hafalan semalam, dan stres berlebihan. Pendidikan kehilangan ruhnya.

Bagi pekerja, tujuan bekerja idealnya adalah memenuhi kebutuhan hidup, mengembangkan diri, dan memberi kontribusi. Namun tidak jarang gaji, jabatan, dan target menjadi tujuan akhir.

Lembur terus-menerus dianggap prestasi, meski kesehatan dan keluarga terabaikan. Produktivitas menjadi sarana yang berubah menjadi tujuan.

Hidup akhirnya hanya berputar pada pekerjaan, tanpa ruang untuk makna dan kebahagiaan.

Dalam kehidupan masyarakat, kita juga melihat paradoks ini. Aturan dibuat untuk menciptakan ketertiban dan keadilan. Namun ketika masyarakat terlalu fokus pada prosedur, esensi keadilan bisa hilang.

Orang lebih sibuk mengurus dokumen daripada menolong sesama. Kepatuhan formal menjadi lebih penting daripada empati.

Bahkan dalam kehidupan beragama, paradoks sarana–tujuan bisa muncul.

Ibadah pada dasarnya adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan membentuk akhlak yang baik. Namun ketika ibadah hanya diukur dari ritual dan simbol, tujuan spiritualnya bisa terlupakan.

Seseorang rajin beribadah, tetapi masih gemar menyakiti orang lain, menyebar kebencian, atau berlaku tidak adil. Ritual menjadi tujuan, sementara nilai kasih, kejujuran, dan kemanusiaan terpinggirkan.

Paradoks ini tidak berarti sarana itu salah. Belajar, bekerja, disiplin, aturan, dan ibadah tetap penting.

Masalahnya muncul ketika kita berhenti bertanya: untuk apa semua ini? Ketika refleksi hilang, sarana mudah berubah menjadi tujuan yang kaku dan menekan.

Kesadaran akan paradoks sarana–tujuan mengajak kita untuk sesekali berhenti dan meninjau ulang arah hidup.

Apakah yang kita lakukan masih mengantarkan pada tujuan awal, atau justru menjauhkan kita darinya? Pertanyaan sederhana ini penting agar hidup tidak sekadar sibuk, tetapi juga bermakna.

Pada akhirnya, sarana hanyalah alat. Ia seharusnya melayani tujuan, bukan menggantikannya. Dengan menjaga kesadaran ini, kita bisa menjalani hidup dengan lebih seimbang: berusaha tanpa terjebak, disiplin tanpa kehilangan makna, dan taat tanpa melupakan nilai kemanusiaan.[]

Penulis: Arizul Suwar (Alumnus Magister Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, penulis buku Semoga Semua Makhluk Berbahagia, aktif menulis artikel reflektif dan ilmiah-populer tentang pendidikan, literasi, serta nilai-nilai kemanusiaan, penulis dapat dihubungi melalui arizulmbo@gmail.com).
Ilustrasi: Dibuat dengan AI
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan