Gamofobia: Biang Keladi Penurunan Angka Pernikahan di Indonesia?
Oleh: Syifa Nova Lia*
Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan di Indonesia menunjukkan tren penurunan selama beberapa tahun terakhir. Fenomena ini tak pelak mengundang pertanyaan, apa yang menjadi dalangnya? Salah satu faktor yang mencuat adalah gamofobia.
Pengertian Gamafobia
Gamophobia adalah rasa takut yang berlebihan terhadap komitmen atau pernikahan.
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, "gamos" yang berarti pernikahan dan "phobos" yang berarti takut. Jadi, secara harfiah, gamophobia bisa diartikan sebagai takut menikah.
Jenis Ketakutan Gamafobia
Ketakutan yang dialami ini tidak wajar karena berlebihan dan tidak rasional. Orang dengan gamophobia mengalami berbagai jenis ketakutan, yang bisa dikategorikan menjadi dua jenis utama yaitu:
A. Ketakutan emosional
1. Ketakutan akan Kehilangan Kebebasan
Mereka takut kehilangan kemandirian dan otonomi mereka jika menikah.
2. Ketakutan akan Kegagalan
Mereka takut pernikahan mereka akan gagal, dan mereka akan terluka secara emosional.
3. Ketakutan akan Keintiman
Mereka takut menjadi terlalu dekat dengan orang lain, dan mengungkapkan perasaan mereka yang terdalam.
4. Ketakutan akan Tanggung Jawab
Mereka takut akan tanggung jawab yang datang dengan pernikahan, seperti membesarkan anak dan mengelola keuangan.
5. Ketakutan akan Perubahan
Mereka takut dengan perubahan gaya hidup yang akan terjadi setelah menikah.
B.Ketakutan fisik
1. kecemasan
Saat memikirkan pernikahan atau komitmen, mereka mungkin mengalami gejala kecemasan seperti jantung berdebar, berkeringat, mual, dan pusing.
2. Serangan Panik
Dalam beberapa kasus yang parah, mereka mungkin mengalami serangan panik yang melibatkan rasa takut yang luar biasa dan perasaan akan mati.
Penting untuk diingat bahwa setiap orang dengan gamophobia mengalami ketakutan yang berbeda-beda dan dengan intensitas yang berbeda pula.
Selain ketakutan-ketakutan di atas, orang dengan gamophobia juga mungkin akan melakukan:
a. Menghindari hubungan yang serius
Mereka mungkin lebih cenderung memilih hubungan kasual atau jangka pendek daripada hubungan yang berkomitmen.
b. Mencari Alasan untuk Mengakhiri Hubungan
Ketika sebuah hubungan mulai menjadi serius, mereka mungkin mencari alasan untuk mengakhirinya.
c. Menunda Pernikahan
Jika mereka memutuskan untuk menikah, mereka mungkin menundanya selama mungkin.
d. Sabotase Pernikahan Mereka
Setelah menikah, mereka mungkin secara tidak sadar menyabotase pernikahan mereka dengan perilaku negatif seperti perselingkuhan atau agresivitas.
Gamofobia, meskipun masih terkesan asing, tetapi diyakini menjadi salah satu faktor pendorong di balik fenomena ini.
Dengan gejala yang beragam, mulai dari kecemasan berlebih saat memikirkan pernikahan, hingga serangan panik saat membayangkan komitmen jangka panjang.
Namun, benarkah gamofobia menjadi biang keladi utama? Ataukah ada faktor lain yang lebih kompleks di baliknya?
Faktor-faktor Penurunan Angka Pernikahan di Indonesia
Menurunnya angka pernikahan di Indonesia bukan hanya gamophobia, ada berbagai kombinasi faktor menurunnya angka pernikahan di indonesia, antara lain yaitu:
1. Perubahan Pola Pikir
Generasi muda saat ini memiliki pola pikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih fokus pada pengembangan diri, karir, dan pencapaian pribadi sebelum menikah.
2. Beban Ekonomi
Biaya hidup yang tinggi dan tuntutan ekonomi yang semakin kompleks membuat banyak orang menunda pernikahan.
3. Trauma Masa Lalu
Pengalaman pahit dalam hubungan sebelumnya, seperti perceraian orang tua atau kegagalan pernikahan, dapat memicu ketakutan untuk berkomitmen kembali.
4. Ketidakjelasan Peran Gender
Peran gender yang semakin kabur di era modern membuat beberapa orang ragu untuk menikah karena khawatir terbebani ekspektasi tradisional.
Meskipun bukan satu-satunya faktor, gamofobia dapat memperparah tren penurunan angka pernikahan.
Ketakutan berlebihan terhadap pernikahan dapat membuat orang menunda atau bahkan menghindari pernikahan sama sekali. Hal ini dapat berakibat pada penurunan angka pernikahan secara keseluruhan.
Solusi Mengatasi Gamophobia
Mengatasi gamofobia dan mendorong angka pernikahan di Indonesia membutuhkan upaya komprehensif dari berbagai pihak.
1. Edukasi dan Psikoterapi
Meningkatkan edukasi tentang gamofobia dan menyediakan layanan psikoterapi yang mudah diakses dapat membantu individu yang menderita fobia ini.
2. Dukungan Sosial
Dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas dapat membantu individu yang gamofobia untuk membangun rasa percaya diri dan mengatasi ketakutan mereka.
3. Perubahan Norma Sosial
Perlu adanya perubahan norma sosial yang lebih akomodatif terhadap pilihan individu untuk menikah atau tidak menikah.
Mengatasi gamophobia memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin.
Langkah pertama untuk mengatasi gamophobia adalah dengan memahami akar ketakutan itu sendiri. Apa yang membuat Anda takut menikah? Apakah Anda pernah mengalami trauma di masa lalu yang terkait dengan pernikahan? Atau, apakah Anda memiliki keyakinan negatif tentang pernikahan? Semakin Anda memahami ketakutan Anda, semakin mudah Anda untuk mengatasinya.
Setelah Anda memahami ketakutan Anda, penting untuk menghadapinya secara langsung. Ini bisa dilakukan dengan terapi eksposur, di mana Anda secara bertahap memaparkan diri Anda pada hal-hal yang Anda takuti.
Dalam kasus gamophobia, ini mungkin melibatkan berbicara dengan orang tentang pernikahan, menghadiri pernikahan, atau bahkan berkencan dengan seseorang.
Gamophobia memang sulit dihadapi, dan tidak ada salahnya untuk meminta bantuan. Jika Anda merasa ketakutan Anda sudah berlebihan dan mengganggu kehidupan sehari-hari, jangan ragu untuk mencari pertolongan profesional seperti psikolog atau psikiater.
Mereka dapat membantu Anda memahami akar ketakutan Anda, mengembangkan mekanisme koping, dan membangun hubungan yang sehat. Ingatlah bahwa Anda tidak sendirian dalam perjuangan ini, dan dengan bantuan yang tepat, Anda dapat mengatasinya.
Kesimpulan
Penurunan angka pernikahan di Indonesia adalah fenomena kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk gamofobia. Mengatasinya membutuhkan upaya kolektif untuk meningkatkan edukasi, menyediakan layanan psikoterapi, membangun dukungan sosial, dan mengubah norma sosial yang kaku.
Penting untuk diingat bahwa pernikahan adalah pilihan pribadi, dan tidak ada tekanan untuk menikah bagi yang tidak siap. Membangun hubungan yang sehat dan bahagia, baik dalam pernikahan maupun tidak, adalah yang terpenting.
• Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh