Clock

Menghadapi Dua Sisi Media Sosial: Norma Sosial vs Realitas Online

Ilustrasi media sosial


Oleh: Tuhfatul Athal

Dua Sisi Media Sosial

Di era digital sekarang ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari kita. Platform seperti Facebook, Instagram, dan X, memungkinkan kita untuk terhubung dengan orang lain, menghibur diri, berbagi cerita, dan mendapatkan informasi dengan mudah. Namun, di balik fasilitasnya yang memudahkan komunikasi, media sosial juga sering menjadi tempat di mana norma-norma sosial tampak dilanggar, melempar hujatan tanpa ada keraguan, tidak peduli kontent creator akan sakit hati, kenak mental atau bahkan bundir.  

Di Indonesia, masyarakat dikenal dengan sikap ramah, sopan, dan menghargai orang lain. Konsep silahturahmi atau menjalin hubungan baik dengan orang lain adalah salah satu nilai yang dijunjung tinggi dalam budaya kita. 

Namun, keanehan muncul ketika kita melihat bagaimana perilaku di media sosial seringkali berbeda dengan sikap di kehidupan nyata. 

Masyarakat Indonesia di kehidupan nyata ketika berada di media sosial seolah tidak pernah tersentuh dengan etika sosial Indonesia yang luhur.  

Sikap ramah dan sopan yang kita kenal di kehidupan nyata seringkali bertabrakan dengan realitas online, di mana hujatan dan kritik negatif mudah ditemui di kolom komentar dengan sangat brutal. 

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa ada perbedaan antara perilaku online dan offline? Dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat dan konten kreator? 

Penyebab Netizen Indonesia Menjadi Sangat Julid Sedunia 

Pertama, media sosial memberikan anonimitas yang memungkinkan orang untuk berperilaku dengan cara yang berbeda dibandingkan di kehidupan nyata. 

Tanpa konsekuensi langsung dari tindakan mereka, orang cenderung lebih berani dalam menyatakan pendapat atau kritik, bahkan jika itu melanggar norma sosial.  

Kedua, Media sosial telah menjadi platform yang kuat bagi individu untuk mengekspresikan emosi mereka, termasuk frustrasi atau ketidakpuasan. 

Hal ini dikarenakan sifat media sosial yang anonim dan kurangnya interaksi langsung, orang merasa lebih bebas untuk mengungkapkan perasaan negatif mereka di sini. 

Sayangnya, kebebasan ini seringkali datang tanpa pertimbangan atas dampak yang mungkin ditimbulkan terhadap orang lain.  

Contoh konkret dari perilaku ini adalah ketika seseorang mengunggah komentar atau kritik yang kasar dan tidak konstruktif terhadap konten atau kepada kreator. 

Misalnya, ketika seseorang menghujat pendapat seseorang tanpa alasan yang jelas atau tanpa memberikan umpan balik yang konstruktif. 

Tindakan semacam ini bukan hanya dapat mengurangi kepercayaan diri konten kreator, tetapi juga dapat merusak reputasi mereka di mata publik.  

Ketiga, algoritma media sosial seringkali menampilkan konten yang sesuai dengan pandangan atau opini kita, menciptakan "kamling" (kamar berita) yang memperkuat keyakinan dan pandangan kita sendiri. 

Hal ini dapat meningkatkan polarisasi dan konflik antar kelompok, mengurangi kemampuan kita untuk memahami perspektif orang lain.  

Bagi konten kreator, menerima hujatan dan kritik negatif di media sosial bisa memiliki dampak psikologis yang signifikan. 

Stress, kecemasan, penurunan kepercayaan diri, dan bahkan gangguan kesejahteraan mental bisa menjadi hasil dari interaksi negatif ini. Oleh karena itu, penting bagi konten kreator untuk memiliki strategi dan dukungan yang tepat dalam menghadapi tantangan ini.  

Cara Mengatasi Tindakan Amoral Netizen di Media Sosial

Pengetahuan masyarakat terhadap media literasi dan kesadaran akan dampak dari perilaku negatif di media sosial harus ditingkatkan agar mampu mengubah persepsi dan perilaku masyarakat dalam menggunakan media sosial (netizen). 

Selain itu, peran tokoh masyarakat, influencer, dan media dalam mempromosikan sikap positif dan mendukung juga sangat penting. 

Mereka bisa menjadi contoh dan mempengaruhi banyak orang untuk mempraktikkan perilaku yang lebih baik dan etis di media sosial.  

Selain edukasi terhadap dampak negatif hujatan liar, kesadaran emosional menjadi kunci. 

Pertama, penting bagi individu untuk belajar mengenali dan mengelola emosi mereka dengan cara yang sehat. 

Menggunakan media sosial sebagai alat untuk refleksi diri, introspeksi, dan kontrol emosi dapat membantu mencegah reaksi impulsif yang berpotensi merugikan. Berpikir panjang sebelum menulis kritikan negatif dan hujatan. 

Selanjutnya, edukasi tentang etika berkomunikasi di platform digital juga sangat penting. 

Mengajarkan orang bagaimana cara menyampaikan pendapat dengan hormat, memilih kata-kata dengan bijak, dan memberikan umpan balik yang konstruktif dapat menciptakan lingkungan online yang lebih positif dan mendukung. 

Selain itu, penting untuk mempromosikan sikap empati dan pengertian di antara pengguna media sosial. 

Dengan memahami bahwa setiap konten kreator adalah individu dengan perasaan dan usaha di balik karyanya, kita dapat menjadi lebih berempati dan menghargai upaya mereka.  

Dengan pendekatan yang lebih bertanggung jawab dan empatik dalam berinteraksi di media sosial, kita dapat mencegah meluapkan emosi dan frustasi yang berpotensi merugikan, menjaga integritas konten kreator, dan menciptakan lingkungan online yang lebih sehat dan harmonis bagi semua pengguna. 

Penutup: Bagaimana Seharusnya Netizen Bersikap?

Di 2024 ini, dunia teknologi semakin canggih dan masif, gunakan teknologi untuk bangkit maju mengejar ketinggalan dan membangun peradaban. Jika tidak mampu, setidaknya jangan hancurkan peradaban itu dengan mempermalukan dan menjelekkan nama Indonesia yang luhur di mata dunia.[]
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan