Kemunafikan: Dibenci Sekaligus Dicintai (Sebuah Refleksi)
Kemunafikan, dibenci sekaligus dicintai. Kemunafikan yang dinobatkan sebagai sifat yang paling dibenci itu, ternyata, secara diam-diam juga sangat dicintai.
Kemunafikan: Dibenci Sekaligus Dicintai
Munafik merupakan sebuah kata yang merujuk pada sifat yang bisa dipastikan sangat dibenci oleh manusia.
Kemunafikan, yang merupakan turunan dari kata munafik, dipandang sebagai sikap sekaligus perilaku yang tidak etis, merugikan, karena di dalamnya memuat kebohongan dan ketidakkonsistenan, antara yang dikatakan dengan yang dilakukan.
Manusia begitu benci kepada kemunafikan. Karena ia bertentangan dan melanggar prinsip kejujuran dan integritas.
Dalam interaksi sosial, kejujuran, integritas, dan konsistensi, merupakan nilai-nilai luhur yang didambakan oleh setiap orang. Sehingga, kemunafikan yang merupakan lawannya, dianggap sebagai sesuatu yang merugikan, mengganggu, bahkan menyakiti perasaan.
Namun, ironisnya, terkadang seseorang tidak menyadari bahwa dirinya sendiri juga menjadi pelaku dari sifat yang dibencinya itu.
Kemunafikan yang dinobatkan sebagai sifat yang paling dibenci itu, ternyata, secara diam-diam juga menjadi sifat yang dicintai.
Kenyataan tersebut, mungkin terjadi karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai yang dianut sebagai prinsip, dengan tindakan yang dilakukan dalam keseharian.
Dalam konteks ini, seseorang merasa membenci kemunafikan, namun dia sendiri juga melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Ketika seseorang tidak bertanggungjawab, kita membenci itu, tapi ironisnya, kita juga sering jatuh pada sikap tidak bertanggungjawab.
Contoh yang lebih luas misalnya, betapa kita membenci korupsi. Tapi, entah bagaimana, kadang-kadang kita juga jatuh ke dalam hal yang sama. Kita membenci korupsi, namun jika ada kesempatan, jika juga menjadi koruptor.
Mungkin, kita akan mencari-cari pembenaran, dengan mengatakan bahwa "mereka kan korupsi trilyunan, sedangkan kita cuma ribuan, jadi tidak mengapa". Tapi, bukankah itu juga korupsi? Bukankah hal besar selalu dimulai dari hal kecil?
Ataukah mungkin, kita membenci kemunafikan jika dilakukan oleh orang lain? Tapi mencintai kemunafikan yang kita lakukan sendiri? Pertanyaan ini cukup dijawab dalam diri masing-masing.
Sebagai intermeso, seorang teman pernah bercerita kepada saya. Suatu ketika, dia mendengarkan khotbah tentang kesabaran dan keikhlasan di sebuah rumah ibadat. Setelah kegiatan selesai, dia mendengar keributan, ternyata tukang khotbah itu sedang marah-marah karena sendalnya hilang.
Begitulah kira-kira, betapa yang dikhotbahkan, hanya ditujukan untuk orang lain, sedangkan untuk dirinya sendiri, ya, cari sendirilah istilah apa yang tepat.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kemunafikan
Kembali ke pembahasan. Kita akan mencoba untuk menelusuri apa saja faktor yang memengaruhi kesenjangan antara nilai-nilai yang dianut atau diyakini, dengan tindakan yang dipraktikkan dalam keseharian.
1. Situasi dan Kepentingan
Ketidakkonsistenan antara nilai-nilai yang diyakini dengan tindakan keseharian, tentunya dipengaruhi oleh situasi. Kesempatan merupakan kata kunci dalam hal ini.
Bisa saja, seseorang tidak melakukan keburukan atau kekejian, bukan karena dia sungguh-sungguh sadar bahwa sesuatu itu buruk dan keji, melainkan karena tidak didukung oleh situasi, alias belum ada kesempatan.
Saya tiba-tiba teringat kisah Cincin Gyges yang diceritakan Plato.
Alkisah, seorang pengembala bernama Gyges menemukan cincin yang memiliki kekuatan untuk membuat si pemakai tidak terlihat.
Menyadari hal itu, Gyges segera melakukan semua hal yang dia inginkan tanpa takut dikritik dan dihukum, toh dia tidak kelihatan.
Gyges menyelinap ke kamar-kamar istana, membunuh raja, dan menggunakan kekuatan dari cincin itu untuk keuntungan pribadinya.
Walaupun kisah itu tidak ditujukan untuk membenarkan tindak ketidakadilan semacam itu, namun, jika berkaca pada kisah tersebut, kita melihat bahwa kesempatan dalam kondisi tertentu, tak pelak memberikan angin segar bagi kemunafikan seseorang.
Selanjutnya, terkait kepentingan, tentu ini sangat besar pengaruhnya bagi munculnya kemunafikan.
Kepentingan seringkali membutakan seseorang dari nilai-nilai yang sebelumnya dinobatkan sebagai sesuatu yang luhur. Demi memenuhi kepentingan itu, seseorang tidak peduli apakah yang dia katakan atau lakukan itu merupakan suatu kebenaran atau kebohongan, yang terpenting adalah tercapainya kepentingan.
Berbagai kasus telah menunjukkan, ketika kepentingan kuasa dan uang menakhta pada seseorang, maka yang namanya aturan, hukum, keadilan, moral, segera akan dihempaskannya ke sudut gelap, dengan kata lain, tidak mau peduli lagi dengan itu semua.
2. Kurangnya Kesadaran dan Tanggung Jawab
Seseorang mungkin tidak sepenuhnya sadar atau reflektif terhadap nilai-nilai yang dianutnya, yang dapat menyebabkan perilaku yang tidak konsisten. Ini memalukan memang, tapi mau bagaimana, seringkali faktanya memang demikian.
Mengapa saya katakan memalukan, bagaimana tidak, coba bayangkan, bagaimana anehnya ketika seseorang percaya dan memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tapi dia tidak paham terhadap apa sebenarnya yang diperjuangkan itu.
Selanjutnya, terkait ketiadaan tanggung jawab, adakalanya seseorang merasa bahwa tindakan yang dilakukan itu, tidak akan berdampak banyak pada nilai-nilai yang dianutnya, sehingga akhirnya cenderung untuk melanggar nilai-nilai tersebut. Secara tidak langsung, sebenarnya, sikap semacam itu merupakan usaha untuk mempermalukan dirinya sendiri.
3. Ambiguitas dan Konflik Nilai
Terkadang nilai-nilai yang dianut dapat menjadi kabur atau ambigu, membuat sulit untuk mengaplikasikannya ke dalam tindakan sehari-hari dengan jelas. Hal ini dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara nilai dan tindakan.
Persoalan ambiguitas nilai ini, untuk mendekatkan pemahaman, saya berikan contoh begini; di satu sisi, seseorang menganut nilai untuk menghormati manusia. Tapi, di sisi lain, orang tersebut juga menganut doktrin bahwa orang-orang di luar kelompoknya (ras, suku, bangsa, agama dll) tidak perlu dihormati. Nah, akhirnya, orang tersebut bingung, bagaimana yang seharusnya dia lakukan.
Terkadang juga, seseorang mungkin berada dalam situasi di mana nilai-nilai yang dianut itu bertentangan satu sama lain, yang dapat menyebabkan kesulitan dalam menjaga konsistensi nilai-nilai dalam tindakan sehari-hari.
Konflik nilai secara umum dapat dipahami dalam dua konteks, pertama pertentangan antar nilai-nilai yang dianut oleh seseorang. Misalnya begini, ada percekcokan yang terjadi pada seorang yang disayanginya, seseorang akhirnya mengalami konflik nilai dalam dirinya, apakah dia harus berpihak pada keadilan atau pada rasa sayang. Hal ini juga seringkali membuat seseorang tidak konsisten dalam bertindak.
Kedua, pertentangan antara nilai-nilai yang dianut seseorang dengan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok masyarakatnya. Seseorang yang hendak hidup dengan passion-nya sendiri, namun masyarakat di sekitarnya, menganggap bahwa hal demikian itu adalah sesuatu yang tidak baik. Yang akhirnya memunculkan ketidakkonsistenan antara nilai-nilai yang dianut dengan tindakan keseharian seseorang.
4. Perubahan Nilai
Nilai-nilai seseorang dapat berubah seiring waktu karena pengalaman hidup, pendidikan, atau faktor lainnya. Perubahan ini bisa menyebabkan kesenjangan antara nilai-nilai yang baru dan tindakan yang sudah menjadi kebiasaan sebelumnya.
5. Kesulitan untuk Mengubah Perilaku
Beberapa orang mungkin memiliki nilai-nilai yang kokoh tetapi kesulitan untuk mengubah perilakunya. Meskipun orang tersebut menyadari pentingnya tindakan sejalan dengan nilai-nilai mereka, perubahan itu tidak selalu mudah dilakukan. Pada gilirannya, ini juga menimbulkan ketidakkonsistenan.
Penutup
Dari beberapa poin di atas, kita menemukan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mengarahkan seseorang untuk melakukan kemunafikan.
Namun, dari poin-poin itu, kita menemukan bahwa ada sebagian faktor pengaruh yang dapat ditolerir, seperti konflik dan perubahan nilai pada diri seseorang.
Faktor-faktor yang dapat ditolerir tersebut, juga harus menjadi refleksi bagi kita, agar tidak terjebak pada pembenaran kelemahan diri, alias memaafkan kelemahan diri namun tidak mau memaafkan kelemahan orang lain. Dengan kalimat tegas, supaya tidak ada standar ganda!
Selanjutnya, pada faktor-faktor yang tidak dapat ditolerir seperti memanfaatkan situasi, meraih kepentingan pribadi, dan kurangnya kesadaran, sangat perlu bagi kita untuk meninjau ulang diri sendiri, menginterogasi diri sendiri.
Jangan sampai, kemunafikan yang katanya sangat dibenci itu, malah, diam-diam menjadi kekasih gelap yang sangat dicintai. Dan, yang juga tidak kalah penting, nilailah diri sendiri sebelum menilai orang lain.[]