Nasihat dan Hal-Hal yang Dilupakan


Oleh: Arizul Suwar*

Nasihat tidak bisa dipisahkan dengan hubungan kasih sayang antara si pemberi nasihat dengan yang dinasihati.

Kita merasa jengkel dengan orang yang tidak mau mendengarkan nasihat atau saran dari kita. "Kenapa sih dia nggak mau dengerin nasihat aku? Padahalkan semua itu adalah kebaikan buat dia". "Bingung deh dengan sikap orang-orang zaman ini, apalagi anak muda, seakan-akan nggak peduli lagi dengan nasihat orang yang lebih tua dari mereka." 

Kalimat-kalimat tersebut dapat menjadi ilustrasi kejengkelan, terhadap berbagai kenyataan adanya orang-orang yang terkesan tidak mau mendengarkan nasihat kebaikan.

Fenomena kejengkelan sebagaimana uraian di atas, membawa saya untuk merefleksikan salah satu sifat alamiah manusia, yaitu pada dasarnya, setiap manusia pasti menginginkan kebaikan. Tidak ada satu orang pun yang dapat memungkiri sifat ini. 

Di sisi lain, kita juga sepakat bahwa isi dari nasihat atau saran itu tentunya kebaikan. Tapi mengapa dalam kenyataan keseharian, ada saja orang-orang yang terkesan tidak menerima nasihat atau saran? 

Disparitas ini tentunya mengindikasikan beberapa persoalan dasar terkait nasihat, yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Saya melihat, ada empat persoalan mendasar yang berhubungan dengan nasihat dan rasa jengkel kepada orang yang acuh tak acuh bahkan menolak, nasihat yang kita berikan.

Alasan Kenapa Orang Menolak Nasihat

Pertama, kesadaran tentang batasan urusan pribadi dengan urusan orang lain. Kesadaran terhadap batasan ini, akan mengantarkan kita untuk mampu memilah yang mana "urusanku" dengan "bukan urusanku". Ini penting. karena seringkali kita ikut campur urusan orang lain. Tak jarang, masalahnya sangat sepele, yaitu kepo dengan urusan orang lain. Setiap orang yang berakal tentu menyadari akan masalah, serta sedang memikirkan cara penyelesaian terhadapnya. 

Ada orang yang senang untuk bercerita ada pula yang tidak. Nah, jika seseorang tidak bercerita permasalahan yang sedang dialaminya, kita tidak perlu kepo terhadap itu. Bisa saja dia sedang fokus pada masalahnya, sehingga tidak butuh nasihat dari kita. 

Jangan menasihati orang yang demikian, dia sedang tidak butuh bantuan nasihat, jangan sampai--ketika kita menasihati--lalu dia menolaknya, kita pun jengkel dengan sikap tersebut. Padahal, masalahnya bukan dia tidak mau menerima nasihat, melainkan kita yang tidak sadar bahwa itu bukanlah bagian dari urusan kita. 

Lain halnya jika seseorang telah meminta bantuan atau bertanya tentang nasihat. Permintaan atau pertanyaan itu, menjadi pengesahan tentang suatu permasalahan yang pada awalnya "bukan urusanku" kini menjadi "urusanku." 

Nah, barulah kita punya hak untuk memberikan nasihat, saran atau sejenisnya kepada orang yang bersangkutan. Pada poin pertama ini, intinya jangan kepo, apalagi merasa diri sebagai pahlawan pemberi nasihat. Sadari dengan jelas mana wilayah "urusanku" dan mana "yang bukan urusanku."

Kedua, nasihat tidak bisa dipisahkan dengan hubungan kasih sayang antara si pemberi nasihat dengan yang dinasihati. Misalnya, kita mendengar kalimat seperti "tidak boleh melakukan itu". Kalimat ini, jika diucapkan oleh orang yang dekat dengan kita--dekat dalam artian terjalinnya rasa kasih sayang antar keduanya--maka jadilah ia sebagai nasihat, dan kita pasti menerima itu, karena merasa bahwa itu adalah kalimat kasih sayang yang penuh perhatian. 

Beda halnya jika kalimat itu diucapkan oleh orang yang belum terjalin kasih sayang dengan kita. Bisa-bisa, kalimat tersebut terdengar seperti kalimat "sok asik" yang merendahkan. Dari poin kedua ini, jelaslah bahwa nasihat itu tidak sebatas kata-kata melainkan siapa yang mengatakannya. Jangan jengkel jika nasihatmu tidak didengar, mungkin kamu bagi dia hanyalah orang asing yang "sok asik." 

Ketiga, perbuatan orang yang menasihati lebih utama daripada kata-kata nasihat. Ketika kita menasihati orang lain, pertama-tama orang itu sebenarnya tidak fokus kepada apa yang kita katakan, melainkan apa yang kita lakukan. Tak jarang, kita yang memberi nasihat, sebenarnya juga tidak melakukan apa yang kita katakan, lantas bagaimana mungkin mengharapkan orang lain melakukan itu? 

Taruhlah misalnya kita sebagai seorang pengajar atau orang tua, sering menasihati para murid atau anak, pertanyaannya, apakah sudah terlebih dahulu kita melakukan semua itu? Seringkali tidak demikian. 

Mungkin kita perlu bertanya pada diri sendiri, jika jengkel kepada mereka karena tidak mendengarkan nasihat kita, jangan-jangan, mereka sebenarnya membutuhkan contoh teladan melalui perbuatan konkrit, dan bukannya sebatas kata-kata. Toh, rangkaian kata-kata mutiara di Google dan TikTok mungkin jauh lebih indah daripada kalimat kita. 

Pada poin ketiga ini, jangan menasihati sesuatu yang tidak kita lakukan. Perbuatan lebih tinggi derajatnya daripada sekedar kata- kata.

Keempat, kondisi dan situasi sangat menentukan. Artinya, dalam konteks nasihat, kondisi dan situasi tak boleh diabaikan begitu saja. Mungkin seseorang mau dan butuh dengan nasihat, namun karena kondisi dan situasi tidak mendukung, nasihat itu malah jadi petaka bagi yang menasihati. Jangan menasihati "sabar" pada orang yang sedang memuncak kemarahannya. Jangan salahkan dia kalau setelah itu mukamu bonyok ditonjoknya. 

Pada poin ini, tempatkanlah sesuatu pada tempat nya. Sesuatu yang pada awalnya baik, bisa menjadi buruk jika tidak pas penempatannya.

Keempat poin di atas merupakan persoalan yang mendasari tindakan menasihati. Artinya, sebelum menasihati, perhatikanlah keempat hal tersebut, sehingga tidak terjadi kejengkelan, apalagi sampai menimbulkan permusuhan.

Semua orang menginginkan kebaikan, namun jika kebaikan itu tidak disajikan sesuai aturan mainnya maka "Manggis kulempar, mangga kudapat. Manis kuharap, racun kudapat."[]

* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prodi Pendidikan Agama Islam 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan