Berfilsafat Tentang Teknologi


Oleh: Tuhfatul Athal*
Yesaya Sandang menghadirkan sebuah buku dengan judul yang sangat menggugah “Dari Filsafat ke Filsafat Teknologi”. Tujuan hadirnya buku ini; pertama untuk meluruskan persepsi mayoritas orang yang menganggap filsafat adalah sesuatu yang rumit, memusingkan dan sibuk dengan permainan kata yang tidak mudah untuk dimengerti, kedua mengajak para pembaca untuk menyelami samudra teknologi dan melihat teknologi dengan bijak.

Merujuk kepada apa yang dikatakan Aristoteles, “All men by nature desire to know” menjadi pendukung bahwa setiap orang yang berakal pastilah berfilsafat dalam semua tindakan kesehariannya selama hal tersebut bisa dipikirkan.

Salah satu ciri dari pola pikir filsafat adalah berpikir secara mendalam. Oleh karena itu, filsafat sangat menolak kedangkalan berpikir karena cenderung menjerumuskan seseorang kepada merumuskan kesimpulan yang keliru. Perkataan Aristoteles juga mengindikasikan bahwa setiap orang yang mempunyai akal berpotensi untuk berfilsafat, yaitu berpikir secara rasional dan mendalam. 

Dengan terus membiasakan diri untuk berpikir ala filsafat (filosofis) maka implikasi yang tercipta adalah menjadi pribadi yang bijak dalam berpikir dan tidak serampangan dalam mengambil kesimpulan. Hal ini senada dengan pernyataan seorang filsuf yang mengatakan bahwa “Bukan dia yang telah memiliki kebijaksanaan, tapi seseorang yang terus konsisten mengupayakan pencarian kebijaksanaan itu”. (hal. 15)

Secara garis besar aliran filsafat terbagi kepada dua, yaitu filsafat Barat dan Timur. Perbedaan antara filsafat Barat dengan filsafat Timur terdapat pada paradigma berpikirnya. Filsafat Timur cenderung menyeimbangkan diri untuk harmonis dengan alam, sehingga paradigma filsafat Timur lebih mendominasikan penggunaan intuisi daripada rasionalitas. Sedangkan Filsafat Barat lebih mendominasikan rasionalitas dalam berpengetahuan.

Berdasarkan paradigma berpikir Barat, tujuan yang ingin dicapai dari sebuah pembelajaran adalah untuk menguasai ilmu, sehingga dengan ilmu mereka mampu menguasai alam. (hal 25-26) Landasan berpikir ala barat mengkistral hingga kini. Bahkan kita bisa menerjemahkannya dari simbol-simbol, kebudayaan dan kehidupan sehari-hari. 

Di satu sisi, orang timur memiliki pandangan yang kontradiktif dari orang Barat. Tentunya hal ini juga berpengaruh pada cara pandang mereka terhadap teknologi itu sendiri.

Hadirnya teknologi membuat kita ditarik ke dimensi dunia lain yang mampu mengaburkan batas-batas antara nyata dan ilutif sehingga teknologi cenderung bersifat “mengelabui” dimana apa yang terlihat di sana tidaklah literally menampilkan apa yang sesungguhnya. Bahkan dalam dunia ilmiah, hal ini melahirkan sebuah fenomena Post-truth yang berakibat kepada matinya kepakaran. 

Disadari atau tidak, pengelabuan atau “dimensi bujuk rayu” yang dikatakan oleh Yesaya Sandang benar-benar sulit dihindari jika pengguna teknologi tidak memiliki cukup bekal untuk terjun bebas menghadapi gejolak teknologi yang tidak dapat dibendung. Lebih dari itu, pengguna teknologi juga harus teliti sehingga mampu menelanjangi strategi keji manipulatif tersebut dan konspirasi-konspirasi yang menjadi pangkalnya. 

Hal ini perlu dianggap serius, menimbang teknologi sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan Werner Heisenberg, seorang fisikawan asal Jerman mengatakan hal yang serupa.

Terkait fenomena kelincahan teknologi yang telah menyusupi seluruh lini kehidupan, membuat kita harus merefleksikan secara mendalam, apakah teknologi membutuhkan suatu kajian filsafat dalam memandang teknologi secara keseluruhan?.

Yesaya Sandang menjelaskan bahwa pada tataran epistemologi, filsafat teknologi akan menampilkan persoalan tentang sifat teknologi. Pada bidang metafisika, filsafat mampu membongkar apa yang alami dan tiruan, serta mana yang manusiawi dan tidak manusiawi. Dalam bidang etika, filsafat teknologi mampu mempersoalkan perkara moral hingga konsekuensi dari teknologi.

Filsafat teknologi juga mampu mempersoalkan hal yang politis, terkait bagaimana manusia hidup dalam masyarakat teknologi, cara teknologi mengubah kehidupan seseorang dan relasi sosial, hingga siapa yang menentukan kebijakan teknologi. (hal. 57)

Pada awal bangkitnya teknologi yang diperkirakan pada abad ke-15, teknologi tidak serta merta didukung oleh mayoritas masyarakat. Ada sebagian kaum yang menerima baik teknologi tanpa ada curiga akan hal buruk yang menyusup -kaum ini dinamakan dengan teknofilia, mereka dikenal sangat kagum dan membangga-banggakan teknologi- dan ada sebagian kaum memandang bahwa hadirnya teknologi adalah ancaman bagi para pekerja, karena mesin-mesin dapat menggantikan peran industri yang dulunya berproses secara manual. Kaum ini dinamakan dengan neo-Luddite, mereka dikenal mempunyai rasa curiga terhadap teknologi.

Hingga detik ini, kita masih menyaksikan betapa manusia semakin intim dengan teknologi. Berdasarkan observasi maka diperoleh hipotesis bahwa teknofilia semakin menjamur, bahkan yang mengaku neo-Luddite pun tidak bisa tidak menyentuh teknologi walau hanya sedikit. 

Dalam memandang teknologi, teknofilia tidaklah salah total, dan neo-Luddite juga tidak salah total, hal ini juga sudah maklum bahwa teknologi adalah hitam dan putih. Karena teknologi tidak mungkin untuk dimusnahkan, maka kita hanya perlu menyeimbangi dalam menggunakan teknologi sebelum teknologi kian menyebarkan polusi jahat dalam berbagai lini kehidupan. 

Yesaya Sandang mengungkapkan bahwa bentuk menyeimbangi adalah titik tengah yang berada diantara kecurigaan kaum neo-Luddite terhadap teknologi dan harapan manis menggoda yang ditawarkan kaum teknofilia.

Kebijaksanaan adalah kuncinya, karena jika teknologi dipelajari maka tidak akan pernah ada habisnya, baru-baru muncul IoT (Internet of Things) lalu kita mempelajarinya, belum habis mempelajari IoT lalu muncul AI (Artificial Intellegence) kita masih sibuk mencari tahu tentang AI lahirlah Metaverse dan belum pun sempat mencicipi Metaverse mungkin beberapa waktu mendatang dunia akan dihebohkan lagi dengan temuan-temuan diluar nalar yang mengagetkan. Walau mengagetkan jangan sampai teknologi berhasil mengontrol kita sebagai manusia yang berakal ke dalam dunia semu.

Refleksi tentang teknologi pernah dijelaskan oleh film “The Matrix” dalam banyak cuplikannya yang seolah-olah biasa saja namun mengandung makna yang mendalam terkait New World Order, namun perlu diperhatikan bahwa apa yang ditampilkan dalam film tersebut bukanlah klaim secara resmi, melainkan dugaan dan cocoklogi yang barangkali ada benarnya. Al-arya

Tulisan ini berdasarkan bacaan penulis terhadap buku Yesaya Sandang, Dari Filsafat ke Filsafat Teknologi, Yogyakarta: Kanisius, 2013.
*Mahasiswi Pascasarjana IAIN Lhokseumawe


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan