Diskursus Kecurigaan

Oleh: Arizul Suwar*

Pengantar


Semasa SMK, hampir setiap kali setelah saya bercerita, berkelakar dan berpendapat tentang sesuatu, seorang teman sekaligus senior, selalu merespon dengan kalimat "leh nyoe?" (Entah iya?). Respon itu tak jarang membuat saya kesal dan jengkel.

Kalimat tanya tersebut terkesan meremehkan, seolah-olah apa yang saya katakan tak lebih dari omong kosong belaka. Sehingga, saya pun berpikir, bagaimana caranya meyakinkan makhluk satu ini? 

Karena terus merasa jengkel dengan respon semacam itu, akhirnya, ketika hendak berdiskusi tentang sesuatu, terlebih dahulu saya menelusuri sebanyak mungkin data relevan. Motifnya cuma satu, untuk meyakinkan satu makhluk itu. 

Namun anehnya, walaupun data-data pendukung sudah saya peroleh, menurut ahli ini dan ahli itu, teman ini tetap saja dengan gaya entengnya merespon, "leh nyoe?" (Entah iya?). Akhirnya, karena makin menjengkelkan, saya katakan "terserah kamu aja, suka-suka kamu aja."

Seiring berlalunya waktu, entah bagaimana, pertanyaan skeptis "leh nyoe?" itu diam-diam merayap dalam kesadaran saya, sehingga akhirnya tertularlah ia. 

Ketika berdiskusi, mendengarkan seminar, ceramah dan bahkan ketika membaca, pertanyaan "leh nyoe?" itu terus memburu dan menelisik kesadaran si pembicara atau penulis tulisan yang sedang saya baca.

Pertanyaan "leh nyoe?" rupanya membawa saya ke dalam alam pikir untuk tidak mudah mempercayai sesuatu, tidak mudah terpengaruh dan terpesona terhadap sesuatu. Rupanya, teman yang menjengkelkan itu, diam-diam telah mengajari saya untuk selalu curiga pada sesuatu.

Curiga: Sebuah Usaha Mensterilkan Sesuatu


Curiga atau kecurigaan dalam pembahasan ini tidak ada hubungannya dengan konsep curiga seperti dalam sinetron-sinetron yang "tidak jelas" itu. Curiga di sana tidak lebih daripada sikap takut dan khawatir yang over, dan rata-rata tidak memiliki pijakan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. 

Mengatasi itu semua, curiga dalam pembahasan ini akan diuraikan lebih lanjut, dengan terlebih dahulu mendudukkan perkara ini secara proporsional.

Setiap data dan informasi baik berupa lisan, tulisan, pengalaman indra maupun argumentasi, senantiasa berseliweran dalam kesadaran kita. Semua itu tidak sepenuhnya benar, pun tidak sepenuhnya salah. Tidak sepenuhnya penting, pun tidak sepenuhnya "sampah". Tidak sepenuhnya kontekstual, pun tidak sepenuhnya ngawur dan melangit tanpa bisa direngkuh dalam kedisinian. 

Pertanyaan "leh nyoe?" menjadi penyaring dan berusaha untuk mensterilkan seluruh data dan informasi yang tiada henti mondar mandir dalam kesadaran. Pertanyaan "leh nyoe?" mencurigai itu semua. Curiga bukanlah penolakan. Curiga mengambil jarak untuk tidak menelan mentah-mentah. Dengan curiga, seseorang lebih mampu untuk mengobjektifkan sesuatu.

Curiga itu Bukan Tidak Percaya


Curiga bukan berarti tidak percaya, apalagi penolakan naif, yang tergesa-gesa. Curiga berarti kehati-hatian. Seringkali, sesuatu hadir dengan topeng. Beragam ekspresi dengan topeng masing-masing, seringkali mampu mengelabui kesadaran kita. Di sini, kecurigaan menemukan urgensinya. 

Lebih jauh, kecurigaan sebenarnya juga merupakan basis dari sikap kritis dan skeptis. Dua hal ini tentunya sangat dibutuhkan bagi seseorang yang ingin lebih jernih dalam menilai sesuatu. 

Penutup


Saya patut berterima kasih kepada teman yang secara tidak langsung telah mengajarkan sikap kecurigaan. Melalui pertanyaan "leh nyoe?" sikap curiga yang kritis lalu menjadi semacam filter dalam menghadapi banyak persoalan yang lalu lalang dalam kesadaran. 

Secara pragmatis, hal itu sangat berguna untuk menyaring yang penting dengan yang tidak penting, sehingga pikiran dapat lebih rileks, memori dapat lebih steril dari berbagai sampah, dan yang paling penting ialah menjaga jarak dari suatu yang bertopeng. []

* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan