Cukup Tidak Cukup

Oleh: Bil Hamdi 

Tidak Cukup
    Merasa tidak cukup mungkin menjadi satu dari sekian penyebab kenapa manusia menderita dan tidak mau berbagi. Padahal, merasa tidak cukup hanyalah sebuah perasaan. Ia tidak nyata. 

  Seseorang bisa saja punya sebuah rumah sederhana, kendaraan motor yang masih bisa dipakai meski jauh dari kata mewah, dan gaji bulanan yang bisa ia gunakan untuk keperluan dirinya dan keluarganya. Lalu, di sekitarnya ada orang yang tidak punya sama sekali. Dalam kondisi semacam ini, sang punya bisa saja berbagi dengan yang tidak punya tersebut, sebaliknya ia dapat pula beralasan bahwa ini tidak cukup. Namun, ia memilih pilihan terakhir. Lalu, ia mengeluh betapa kekurangannya telah membuatnya kesulitan berbuat baik. Bagaimana mau berbagi, jika ia sendiri merasa kekurangan? 

  Ketika dibandingkannya, ia sangat menderita, sebab tetangganya makan jauh lebih banyak, lebih enak dan tinggal di tempat yang lebih nyaman. Singkatnya, tetangganya dipandangnya lebih kaya. Dan tetangga tersebut tak pernah berbagi sekalipun. Oleh karena itu, kenapa ia yang serba kekurangan harus pula berbagi lagi? Inilah pola pikir tidak cukup. Dan ini bisa saja berlaku pada jenis manusia apa pun dalam berbagai tingkatannya. Ia bukannya tidak cukup, tapi merasa tidak cukup. Ia berpikir bahwa yang ia punya tidak cukup bahkan untuk dirinya sendiri, alih-alih mau berbagi. Namun di saat yang bersamaan, ia mengeluh sebab melihat orang kaya di sekitarnya yang tidak mau berbagi. Bukankah ini standar ganda? 

   Bagaimana jika misal, orang kaya di sekitarnya itu merasa kurang dan tidak cukup juga? Sehingga ia merasa masih kesulitan berbagi? Sebab, hartanya itu masih belum mencukupi kebutuhannya sendiri? justru dengan harta yang ia punya sekarang, ia ingin mendapatkan harta yang lebih banyak lagi. Dengan kata lain, semua itu masih belum cukup baginya. Lalu jika untuk dirinya saja tidak cukup, salahkah bila ia tidak berbagi? Bukankah ini sama saja? 

  Antara orang pas-pasan dengan tetangganya yang kaya tersebut pada dasarnya tidak ada bedanya. Mereka sama-sama merasa tidak cukup. Dan andai orang semacam ini diberikan lebih dari itu, mereka akan masih merasa tidak cukup. Sebab, kebutuhan dirinya berkembang sebanyak perkembangan hartanya. Dan yang terpenting, mereka menjadi tidak bahagia. Sebab, seluruh hasratnya diarahkan untuk kepentingan dirinya sendiri yang tidak pernah terpuaskan. Lalu, apa yang diharapkan dengan mengeluh tentang tetangga kayanya yang tidak mau berbagi yang sebenarnya menggambarkan dirinya sendiri. Bahwa ia merasa tidak cukup. Padahal, seharusnya dialah yang paling mengerti alasan kenapa orang-orang kaya itu tidak mau berbagi. Alasan yang sama dengan dirinya sendiri yang tidak mau berbagi, yaitu perasaan tidak cukup. 

Cukup
 Sebaliknya, perbuatan berbagi menimbulkan efek yang sama sekali berbeda. Dengan berbagi, kita menancapkan keyakinan dalam hati kita, bahwa kita sedang berlebih. Artinya pada diri sendiri kita merasa cukup, sehingga mengeluarkan sisa dari kecukupan itu sama sekali tidak mengurangi apa-apa dari kita. 

  Lebih dari itu, melatih diri untuk berbagi artinya melepaskan diri dari ikatan duniawi. Hal-hal material yang seringkali menjadi penghambat dalam perjalanan hijrah kembali kepada Allah. Juga, yang menjadi sebab bagi sebagian besar penderitaan manusia dalam kehidupan. Ikatan berlebihan pada dunia menggiring manusia pada pencarian yang tidak bermakna berupa nikmat-nikmat semu. Dengannya, manusia terjerumus dalam berbagai maksiat. Halal dan haram tidak lagi penting. Sebab yang utama adalah terpenuhinya hasrat rendah dan hawa nafsu. Hasilnya, manusia melakukan perbuatan-perbuatan yang menyengsarakan bukan hanya untuk dirinya sendiri, namun juga bagi orang lain seumpama korupsi dan sebagainya.

  Rasulullah bersabda : bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta, namun kaya itu adalah kaya hati. Sebaliknya seorang filsuf Stoa bernama Seneca berkata Miskin itu bukan memiliki terlalu sedikit, melainkan menginginkan lebih banyak.

   Berbagi menumbuhkan rasa cukup dalam hati. Suatu kekayaan yang dengannya seseorang merasakan kelimpahan rahmat dari Tuhan. Kelimpahan yang seumpama cahaya, tidak hanya menerangi dirinya sendiri, namun juga menyinari selainnya. Menjadi kaya sejak dalam hati, tidak hanya bermanfaat bagi diri, namun juga memberikan manfaat pada sesama, bahkan seluruh alam. []

* Mahasiswa Filsafat Islam STFI Sadra, Jakarta 
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan