Cahaya yang Hilang: Menumbuhkan Rasa Ingin Tahu dalam Pembelajaran
![]() |
Gambar ilustrasi dibuat dengan AI |
Oleh: Abigail
Pendahuluan
Di puncak langit, di atas gunung yang tak terjamah manusia, berdiri megah Istana Takamagahara, kediaman para dewa. Amaterasu Ōmikami, dewi matahari, bersinar dari sana, menerangi dunia dengan cahayanya yang hangat. Di sisinya ada Tsukuyomi, dewa bulan yang tenang, serta Susanoo, dewa badai yang liar dan tak terkendali.
Suatu hari, amarah dan kegelisahan menguasai Susanoo. Ia menghancurkan sawah suci Amaterasu, mencemari aula istananya, bahkan membunuh seorang pelayannya. Kecewa dan ketakutan, Amaterasu mengasingkan diri ke dalam gua batu yang gelap, menutup pintunya rapat-rapat.
Dunia pun dilanda kegelapan. Tanpa matahari, langit muram, pepohonan meranggas, dan manusia hidup dalam kecemasan. Para dewa berkumpul, mencari cara untuk membujuk Amaterasu keluar. Namun, gua itu terlalu kuat untuk ditembus, dan seruan mereka tak dihiraukan.
Akhirnya, mereka menyusun rencana. Ame-no-Uzume, dewi kegembiraan, berdiri di atas gentong kayu, lalu mulai menari dengan gerakan aneh dan menggelikan. Ia menepuk tangan, menggoyangkan tubuhnya dengan riang, dan tertawa terbahak-bahak. Para dewa lain ikut bersorak, menciptakan kegaduhan besar di depan gua.
Di dalam kegelapan, Amaterasu mendengar hiruk-pikuk itu. Dahinya berkerut, hatinya dipenuhi tanda tanya. "Mengapa mereka bersuka cita tanpa cahayaku?" pikirnya. Rasa ingin tahunya bangkit, membuatnya mengintip keluar dari celah gua.
Saat itu juga, para dewa mengangkat Yata no Kagami, sebuah cermin besar yang telah mereka siapkan. Cahaya redup dari dalam gua terpantul pada cermin, memperlihatkan wajah Amaterasu yang masih bersinar. Ia terkejut—cahayanya belum sirna, dan dunia masih bisa melihatnya!
Tertarik untuk melihat lebih jelas, ia melangkah maju. Saat itulah para dewa dengan sigap menariknya keluar. Sebelum ia sempat kembali bersembunyi, mereka menutup pintu gua rapat-rapat. Dunia pun kembali terang, dan kehidupan berjalan seperti sedia kala.
Kisah ini bukanlah semata-mata sebuah legenda, melainkan cerminan dunia pendidikan. Amaterasu melambangkan siswa yang kehilangan semangat belajar, sementara gua mencerminkan kebosanan dan ketidakpedulian yang mengurung mereka. Tanpa pemantik yang membangkitkan rasa ingin tahu, mereka akan tetap terjebak dalam kegelapan intelektual.
Oleh karena itu, menumbuhkan rasa ingin tahu bukan hanya sekadar elemen tambahan dalam pembelajaran, tetapi fondasi yang menentukan apakah siswa akan berkembang atau justru terperangkap dalam stagnasi.
Jika dibiarkan, mereka akan terus “bersembunyi” dalam ketidakpedulian, menjalani pembelajaran hanya sebagai rutinitas tanpa makna.
Secara fisik mereka hadir di kelas, tetapi pikiran mereka melayang entah ke mana. Mereka menghafal tanpa memahami, menyelesaikan tugas tanpa rasa penasaran, dan belajar hanya demi memenuhi kewajiban, bukan untuk menambah wawasan.
Di sinilah peran guru dan lingkungan belajar menjadi sangat penting, layaknya para dewa yang berusaha mengeluarkan Amaterasu dari gua. Jika pembelajaran hanya sebatas hafalan dan instruksi satu arah, rasa ingin tahu siswa akan semakin pudar. Guru perlu berperan sebagai Ame-no-Uzume dalam kelas—menghidupkan suasana dengan strategi yang mampu membangkitkan rasa penasaran mereka.
Beberapa strategi yang dapat diterapkan:
Rasa ingin tahu bukan sesuatu yang muncul begitu saja; ia harus dipelihara. Jika guru hanya berperan sebagai penyampai informasi tanpa menciptakan ruang eksplorasi, siswa tidak akan tertantang untuk berpikir lebih jauh. Akibatnya, mereka akan tetap terperangkap dalam “gua” ketidakpedulian, hanya bergerak ketika ada tekanan dari luar.
Pendidikan yang gagal merangsang rasa penasaran hanya akan melahirkan generasi pasif—siswa yang belajar sekadar demi nilai, bukan karena ingin memahami dunia.
Sebaliknya, ketika rasa ingin tahu terbangkitkan, siswa akan menjadi lebih aktif dalam mencari jawaban, berani bertanya, dan menikmati proses belajar. Mereka tidak lagi belajar karena paksaan, tetapi karena dorongan batin untuk memahami, mengeksplorasi, dan menemukan makna dalam setiap pelajaran yang mereka jalani.
Seperti Amaterasu yang akhirnya keluar dari gua dan kembali menyinari dunia, siswa yang menemukan kembali rasa ingin tahunya akan mampu menerangi jalan mereka sendiri. Dengan pemikiran kritis dan kreativitas yang terus berkembang, mereka tidak hanya menjadi penerima ilmu, tetapi juga pencipta perubahan.
Maka, tugas utama pendidikan bukan sekadar mentransfer pengetahuan, melainkan membangkitkan rasa ingin tahu—agar siswa terus bergerak, bertanya, dan mencari makna di setiap ilmu yang mereka pelajari.[]
Suatu hari, amarah dan kegelisahan menguasai Susanoo. Ia menghancurkan sawah suci Amaterasu, mencemari aula istananya, bahkan membunuh seorang pelayannya. Kecewa dan ketakutan, Amaterasu mengasingkan diri ke dalam gua batu yang gelap, menutup pintunya rapat-rapat.
Dunia pun dilanda kegelapan. Tanpa matahari, langit muram, pepohonan meranggas, dan manusia hidup dalam kecemasan. Para dewa berkumpul, mencari cara untuk membujuk Amaterasu keluar. Namun, gua itu terlalu kuat untuk ditembus, dan seruan mereka tak dihiraukan.
Akhirnya, mereka menyusun rencana. Ame-no-Uzume, dewi kegembiraan, berdiri di atas gentong kayu, lalu mulai menari dengan gerakan aneh dan menggelikan. Ia menepuk tangan, menggoyangkan tubuhnya dengan riang, dan tertawa terbahak-bahak. Para dewa lain ikut bersorak, menciptakan kegaduhan besar di depan gua.
Di dalam kegelapan, Amaterasu mendengar hiruk-pikuk itu. Dahinya berkerut, hatinya dipenuhi tanda tanya. "Mengapa mereka bersuka cita tanpa cahayaku?" pikirnya. Rasa ingin tahunya bangkit, membuatnya mengintip keluar dari celah gua.
Saat itu juga, para dewa mengangkat Yata no Kagami, sebuah cermin besar yang telah mereka siapkan. Cahaya redup dari dalam gua terpantul pada cermin, memperlihatkan wajah Amaterasu yang masih bersinar. Ia terkejut—cahayanya belum sirna, dan dunia masih bisa melihatnya!
Tertarik untuk melihat lebih jelas, ia melangkah maju. Saat itulah para dewa dengan sigap menariknya keluar. Sebelum ia sempat kembali bersembunyi, mereka menutup pintu gua rapat-rapat. Dunia pun kembali terang, dan kehidupan berjalan seperti sedia kala.
Kisah ini bukanlah semata-mata sebuah legenda, melainkan cerminan dunia pendidikan. Amaterasu melambangkan siswa yang kehilangan semangat belajar, sementara gua mencerminkan kebosanan dan ketidakpedulian yang mengurung mereka. Tanpa pemantik yang membangkitkan rasa ingin tahu, mereka akan tetap terjebak dalam kegelapan intelektual.
Oleh karena itu, menumbuhkan rasa ingin tahu bukan hanya sekadar elemen tambahan dalam pembelajaran, tetapi fondasi yang menentukan apakah siswa akan berkembang atau justru terperangkap dalam stagnasi.
Tulisan ini akan mengulas betapa krusialnya rasa ingin tahu dalam proses belajar, serta strategi untuk membangkitkannya kembali.
Pembahasan
Seperti Amaterasu yang mengasingkan diri karena kecewa dan takut, banyak siswa kehilangan minat belajar akibat pengalaman buruk, sistem pendidikan yang kaku, atau minimnya ruang untuk eksplorasi.Jika dibiarkan, mereka akan terus “bersembunyi” dalam ketidakpedulian, menjalani pembelajaran hanya sebagai rutinitas tanpa makna.
Secara fisik mereka hadir di kelas, tetapi pikiran mereka melayang entah ke mana. Mereka menghafal tanpa memahami, menyelesaikan tugas tanpa rasa penasaran, dan belajar hanya demi memenuhi kewajiban, bukan untuk menambah wawasan.
Di sinilah peran guru dan lingkungan belajar menjadi sangat penting, layaknya para dewa yang berusaha mengeluarkan Amaterasu dari gua. Jika pembelajaran hanya sebatas hafalan dan instruksi satu arah, rasa ingin tahu siswa akan semakin pudar. Guru perlu berperan sebagai Ame-no-Uzume dalam kelas—menghidupkan suasana dengan strategi yang mampu membangkitkan rasa penasaran mereka.
Beberapa strategi yang dapat diterapkan:
1. Pendekatan Interaktif
Daripada sekadar menyampaikan materi secara monoton, guru dapat menerapkan diskusi berbasis masalah, eksperimen langsung, atau simulasi yang memungkinkan siswa menemukan jawaban sendiri.2. Tantangan yang Memicu Penasaran
Seperti Ame-no-Uzume yang menciptakan kegaduhan untuk menarik perhatian Amaterasu, guru dapat menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan namun menarik. Tantangan ini akan mendorong siswa berpikir lebih dalam dan mencari jawaban dengan antusias.3. Menghargai Proses, Bukan Sekadar Hasil
Dalam kisah Amaterasu, Yata no Kagami bukan hanya sekadar cermin, tetapi juga simbol refleksi diri. Siswa yang melihat usahanya dihargai akan lebih terdorong untuk terus belajar, bukan hanya demi nilai, tetapi karena menikmati proses memahami sesuatu.Rasa ingin tahu bukan sesuatu yang muncul begitu saja; ia harus dipelihara. Jika guru hanya berperan sebagai penyampai informasi tanpa menciptakan ruang eksplorasi, siswa tidak akan tertantang untuk berpikir lebih jauh. Akibatnya, mereka akan tetap terperangkap dalam “gua” ketidakpedulian, hanya bergerak ketika ada tekanan dari luar.
Penutup
Menumbuhkan rasa ingin tahu dalam pembelajaran bukan sekadar strategi pedagogis, melainkan kebutuhan fundamental.Pendidikan yang gagal merangsang rasa penasaran hanya akan melahirkan generasi pasif—siswa yang belajar sekadar demi nilai, bukan karena ingin memahami dunia.
Sebaliknya, ketika rasa ingin tahu terbangkitkan, siswa akan menjadi lebih aktif dalam mencari jawaban, berani bertanya, dan menikmati proses belajar. Mereka tidak lagi belajar karena paksaan, tetapi karena dorongan batin untuk memahami, mengeksplorasi, dan menemukan makna dalam setiap pelajaran yang mereka jalani.
Seperti Amaterasu yang akhirnya keluar dari gua dan kembali menyinari dunia, siswa yang menemukan kembali rasa ingin tahunya akan mampu menerangi jalan mereka sendiri. Dengan pemikiran kritis dan kreativitas yang terus berkembang, mereka tidak hanya menjadi penerima ilmu, tetapi juga pencipta perubahan.
Maka, tugas utama pendidikan bukan sekadar mentransfer pengetahuan, melainkan membangkitkan rasa ingin tahu—agar siswa terus bergerak, bertanya, dan mencari makna di setiap ilmu yang mereka pelajari.[]