Kebenaran yang Tidak Dibutuhkan



Oleh: Arizul Suwar*

Dalam banyak kasus, nilai-nilai moral seringkali digunakan untuk menghantam orang lain yang berbeda dengan dirinya. Moral tidak lagi menjadi alat evaluasi diri, melainkan alat evaluasi orang lain, bahkan menjadi pisau tusuk yang siap digunakan kapan saja jika posisinya terancam.

Saya sangat terpukau dengan paragraf akhir dari tulisan teman saya, Bil Hamdi. Uraian reflektifnya tentang landasan moralitas netizen +62 sangatlah menarik. Berangkat dari berbagai fenomena komentar netizen yang kontradiktif, Hamdi meragukan bahwa moralitas netizen +62 datang dari nilai-nilai luhur nan agung. 

Mengamati fenomena-fenomena itu, Hamdi akhirnya sepakat bahwa moralitas manusia lahir dari kebutuhan. "Kebenaran adalah apa yang dibutuhkan". Manusia tidak membutuhkan apa yang benar, tapi membenarkan apa yang dibutuhkan.

Tesis yang menyatakan bahwa moralitas manusia lahir dari kebutuhan tentunya tidaklah berlaku universal. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pernyataan itu mengandung kebenaran. Yang saya sampaikan ini bukanlah pembelaan atau pembenaran terhadap orang-orang yang "sok suci" merasa paling idealis. Tesis itu sendiri, bagi saya pribadi, menjadi alat evaluasi untuk menginterogasi diri sendiri.

Membaca tulisan Hamdi, saya langsung teringat kepada Nietzsche--filsuf eksistensialis yang saya kagumi--dalam pandangan Nietzsche, moral dibedakan menjadi dua, moralitas tuan dan moralitas budak. Orang-orang yang sibuk mencari pembenaran terhadap apa-apa yang telah sebelumnya dipercayainya (kehendak untuk percaya) menunjukkan dengan jelas bahwa kualitas moralnya adalah budak. 

Apa yang disebut moral memang seringkali merupakan apa yang dibutuhkan oleh kehendak menguasai. Ketika seseorang ingin dihargai, tak jarang dia akan menetapkan patokan moral yang mencengkeram orang lain, dengan tujuan agar posisi dirinya tetap aman dan terus-menerus dihargai. Apa yang disebut tata kesopanan, sangat banyak yang sudah disusupi oleh kehendak untuk menguasai orang lain.

Dalam banyak kasus, nilai-nilai moral seringkali digunakan untuk menghantam orang lain yang berbeda dengan dirinya. Moral tidak lagi menjadi alat evaluasi diri, melainkan alat evaluasi orang lain, bahkan menjadi pisau tusuk yang siap digunakan kapan saja jika posisinya terancam. 

Kebenaran dan pembenaran akhirnya tidak memiliki batas yang tegas. Dan itu akan sangat membingungkan, kecuali bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mempertanyakan itu semua, sembari menarik diri untuk sejenak menepi dan menyepi dari hiruk pikuk kebisingan.

Dari fenomena-fenomena yang ditunjukkan Hamdi dalam tulisannya, masih sangat banyak fenomena serupa dalam kehidupan keseharian. Ketika seseorang membutuhkan atau mendukung A, maka dia akan membangun berbagai argumentasi untuk membenarkan itu, demikian juga ketika seseorang membutuhkan atau mendukung B, maka dia juga akan memeras otak untuk mencarikan pembenaran terhadapnya. 

Salah satu alasan mendasar mengapa saya menghindari debat adalah karena di sana disesaki dengan berbagai pembenaran, dan bukannya kebenaran. Kebenaran ternyata tidak duduk dalam gelanggang perdebatan, ia menepi ke dalam keheningan.

Sebagai penutup, tulisan ini hanyalah sebuah respon terhadap refleksi yang sangat penting dari Bil Hamdi, namun terkait sepak bola, saya tidak terlalu mengerti. Dalam hal ini, musik lebih menarik perhatian saya ketimbang sepak bola, selain menyentuh dimensi fisik (pendengaran), musik juga menyentuh dimensi rasa dan imajinasi. Namun yang terakhir ini, bukanlah sesuatu yang mesti diperdebatkan.[]

* Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prodi Pendidikan Agama Islam 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan