Orang tua Toxic?

Oleh: Sarah Ulfah*
Istilah toxic pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli psikolog yang berasal dari California AS, Dr Lillian Glass melalui sebuah bukunya yang berjudul “TOXIC PEOPLE” pada tahun 1995. Akhir-akhir ini banyak sekali kita temukan konten-konten para mental health promotor yang mengangkat istilah toxic sebagai topik pembahasan mereka di berbagai platform media sosial. Seperti toxic people, toxic friend, toxic chat, toxic relationship, hingga toxic parent.

Pertama sekali mengetahui istilah toxic parent, saya merasa sedikit gusar, dan sangat tidak setuju dengan istilah toxic yang disematkan ini. Mengapa tega-teganya melabelkan toxic kepada orang tua sendiri? Selanjutnya, sebelum para pembaca angguk setuju ataupun tidak dengan narasi saya, mari kita tilik apa itu toxic dan layak kah lakon kedua orang tua dianggap toxic?

Toxic berasal dari bahasa inggris yang artinya racun. Seseorang bisa dikatakan sebagai orang yang toxic apabila orang tersebut membawa pengaruh buruk atau negatif di dalam ranah sosial sehingga membuat orang lain tidak nyaman.

Lalu, bagaimana pengidentifikasian para psikolog tentang sikap sosok pahlawan yang kita sebut ‘orang tua’ itu bisa dianggap toxic? 

Sebenarnya tidak layak seorang saya membicarakan topik ini. Toh saya juga bukan ahli dalam ilmu psikologi. Ini hanya opini pribadi yang saya tuangkan melalui narasi. Tidak bisa juga dijadikan sebagai rujukan yang valid karena tulisan ini tidak ilmiah dan tidak berhujung dengan sebuah solusi. Barangkali ada teman-teman yang ingin ikut membaca, dan mengkoreksi pendapat saya. Atau barangkali ada diantara teman-teman pembaca yang ingin membuka ruang diskusi untuk membahas topik ini lebih lanjut, saya bersedia.

Kembali lagi kepada topik. Sebenarnya, adakah sikap sikap orang tua yang dapat dianggap toxic untuk anaknya? Berdasarkan identifikasi yang telah dilakukan para psikolog, orang tua yang dianggap toxic adalah orang tua yang melakukan pola pengasuhan keliru sehingga dapat melukai mental seorang anak. 

Sejauh yang saya ingin katakan, tidak ada lakon kedua pahlawan tersebut yang membawaki kepada pantas untuk menyandang julukan toksik. Toh pada dasarnya semua orang tua ingin yang terbaik untuk anak nya. Dan hal ini diekspresikan oleh orang tua yang berbeda beda melalui cara yang berbeda pula. 

Namun, setelah penulis mendengar banyak cerita dan berdiskusi ringan dengan teman teman sejawat, ternyata banyak anak diluar sana yang mendapat pola pengasuhan keliru sehingga mental mereka terlukai. Katakan saja, seorang anak di usia produktif yang seharusnya waktu mereka dipergunakan untuk belajar dan mencari pengalaman, tetapi malah dipaksa oleh orang tuanya untuk bekerja demi mencukupi kebutuhan rumah tangga. 

Memang hal ini merupakan pola asuh yang salah. Namun dibalik itu, orang tua dari anak tersebut pastinya menginginkan kehidupan yang lebih baik untuk anaknya. Khususnya di bidang kebutuhan perekonomian.

Mungkin orang tua dari anak tersebut juga masih bingung perihal mendidik anak yang sesuai dengan konteks islam dan ilmu psikologi. Ya wajar saja, untuk mengakses berbagai ilmu perihal parenting di masa mereka tidak sederas zaman sekarang. Jika kita bisa melihat dari sudut pandang demikian, tentunya tidak semudah itu melabelkan toxic kepada sosok yang paling berjasa dalam keberadaan kita di dunia.

Intinya, orang tua adalah pahlawan paling berjasa. Jangan mentang mentang sudah merasa lebih banyak tahu, pengetahuan itu dijadikan pembenaran untuk menyalahkan orang tua. Terlebih lagi mengatakan orang tua sendiri sebagai orang tua yang toxic.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Artikel Relevan